TANYA DI MALAM PERTAMA

Malam hitam  berhias gerimis. Di luar dingin, dan kubayangkan hangat di bawah balutan selimut tebal menjadi penghangat yang menanti. Di kamar ini, semerbak wangi melati menghantar aroma ruangan dengan kehangatan yang nyata.

“Kemala, aku telah mencoba mencari hati lain untuk kutempati. Tapi ternyata, aku tak bisa. Aku masih sangat mencintaimu La. Bersediakah kamu menjadi bagian hidupku selamanya?” Itulah kalimat indah Seta tiga bulan lalu yang membuatku melambung tinggi. Di tengah kesendirian yang begitu panjang tiba-tiba dia kembali datang membawa sebuah mimpi dan harapan masa depan yang sempat terkoyak ketika ia meninggalkanku dulu.

“La, ingatkah kamu pada bintang malam dan semua kalimat yang kita bingkai beberapa tahun lalu?” tanyanya malam itu di tengah makan malam romantis yang dibuatnya untukku.

Ya, kisah itu. Bintang malam dan cerita yang kami bingkai bersama waktu itu. Hampir sejak sepuluh tahun lalu dan berakhir dalam genggaman perpisahan tiga tahun lalu. Tentu aku mengingatnya. Mengingatnya dengan sangat jelas. Bahagia hingga sakitnya.

“Ta, kenapa memilih aku?” tanyaku singkat kala itu.

“Karena kamu. Karena kamulah yang bisa meyakinkan aku dengan kesetiaan itu La. Kamu yang menyetiaiku begitu lama. Kamu yang menungguku dengan penuh kesabaran. Tidak ada lagi La. Tak ada yang seperti kamu”

“Hanya itu?” tanyaku mengernyitkan dahi.

“Aku menyayangimu. Meski selalu aku pungkiri. Aku tak bisa mengingkari bahwa tak ada wanita yang bisa kusayangi melebihi sayang yang kupunya kepadamu dulu.”

“Kamu yakin Ta?”

Seta tak lantas menjawab. Digenggamnya tanganku hangat.

“Cuma itu yang aku punya La. Keyakinan hati. Dan kamulah wanita itu La. Wanita yang layak menjadi pendampingku dan kelak menjadi ibu bagi anak-anakku.”

“Bersediakah kamu Kemala Puspita?” tanyanya lagi penuh keseriusan.

Aku tak segera menjawab. Kupandangi Seta lekat. Lelaki ini. Dialah lelaki yang begitu lama menempati hatiku. Lelaki yang memberikan kedalaman cinta di sepanjang penantianku di atas dunia. Meski kami pernah terpisah begitu lama, Tuhan akhirnya mempertemukan kami lagi dalam pertemuan takdir. Hingga kami sampai pada malam ini.

“La, kamu belum menjawab pertanyaanku”

“Akh Tuhan, Kau yang membawanya pergi, Engkau pula yang membawanya kembali. Diakah takdirku Tuhan? Apa yang harus kuingkari jika Engkau telah mengaturkannya untukku?” Itulah kalimat yang kurangkai dalam hati yang kemudian membawaku pada sebuah keputusan. Keputusan untuk memilih Seta sebagai pasangan hidupku.

“Kamu diam saja” Ucap Seta sambil melingkarkan kedua tangannya pada tubuhku. Aku bergeming. Dadaku berdegup kencang. Wangi farfum masih menyengat tercium dari tubuhnya.

Pelan-pelan kulepaskan kedua tangannya. Beberapa langkah maju lalu kubuka jendela bergorden putih penuh kemewahan.

“La, malam ini seperti mimpi rasanya” katanya lagi kembali mencoba memelukku. Kurasakan nada bahagia dari kalimatnya. Aku masih diam. Kubiarkan dia dengan haknya memiliki seluruh tubuhku. Sejak ijab kabul terucap pagi tadi, aku tahu aku sudah tak berhak lagi atas diriku, dan dia sudah memilki kuasa atas kebebasanku sebagai seorang perempuan.

“Malam ini aku ingin kita membaginya dengan cerita. Kamu tak keberatan kan La?” tanyanya lalu merenggangkan pelukannya.

“Ya, tentu” jawabku singkat dan datar. Seta mengernyitkan kedua alisnya, merasa heran dengan jawaban singkatku yang tanpa ekspresi.

“La, ada apa? Sejak beberapa menit lalu aku lihat kamu gusar?” tanyanya lagi penuh penasaran. Aku hanya menarik napas dalam mendengar pertanyaannya. Gejolak batinku mengatakan keharusan untuk berkata jujur padanya, sementara setengah hatiku menolak mempertanyakan hal yang sudah tak ada gunanya aku pertanyakan lagi.

“La, kamu kenapa?” Seta mengulangi pertanyaannya. Kubalikkan badan lalu menatapnya dalam.

“Lelaki yang manis. Lelaki termanis yang pernah aku temui di muka bumi ini. Andai saja aku dapat seperti orang-orang, pasti malam ini aku sudah berada dalam pelukan hangatnya dan mendapati diri kami tak berdaya dalam kekuasaan cinta” Pikirku sambil terus memperhatikannya. Dia sadar aku memperhatikannya dengan pandangan yang aneh. Dia mencoba melemparkan senyum padaku. Senyum manis yang tak pernah ingin aku lewatkan sejak beberapa tahun lalu itu kini benar-benar untukku dan benar-benar telah menjadi milikku.

“Seta, apa kamu benar mencintaiku?” tanyaku sekenanya. Pertanyaan itu mengusik ketenangan Seta rupanya. Dia menatapku heran. Kurasakan warna gelisah dari matanya.

“Maksudmu La?” dia bertanya tak mengerti.

“Maksudku, apa semua ini benar-benar keinginan hatimu?” lanjutku. Kebingungan tampak kian jelas dari wajah Seta.

“Aneh. Kamu bertanya hal yang tak masuk akal La” tandasnya dengan nada tak suka. Dia melangkahkan kakinya ke pintu keluar.

“Jawab Ta, bukan seperti itu” pintaku kemudian menghentikan langkahnya. Ditutupnya lagi pintu kamar yang sempat terbuka.

“Apalagi La? Harus berapa kali aku ulangi padamu bahwa aku mencintaimu, mencintaimu dan sangat mencintaimu” ucapnya menekankan kalimat terakhir. Aku melemparkan senyum sinisku padanya.

“Tidak Ta, kamu tak mencintaiku” ucapku sekenanya. Kulihat amarah mulai jelas menghias wajah Seta. Tatapan matanya dipenuhi dengan ketidaksukaan atas kata-kataku barusan.

“Lalu apa ini La?” tandasnya sembari menunjukkan cincin yang melingkar di jarinya. Cincin pengikat pernikahan yang baru disematkan di jari kami pagi tadi.

“Itu hanya cincin Ta” ucapku singkat.

“Ya, itu memang hanya cincin La, karena kamu menilainya demikian. Tapi La, bila saja kamu mengingat janji kita tadi di hadapan Tuhan. Apa itu tak cukup La?” lanjut Seta tak lagi bisa menyembunyikan kemarahannya.

“Apa yang merasukimu Kemala?” keluhnya dengan nada sedih.

“La, apa yang harus aku lakukan agar kamu tak terus bertanya. Kenapa tiba-tiba saja kamu merasa ragu. La, ingat…ingat. Sejak lalu aku sudah memberimu pilihan, mengapa kamu memilih langkah ini jika kamu masih ragu?” Ucapnya tertahan sambil diguncangnya kedua bahuku. Kurasakan cengkeraman tangannya begitu kencang, hingga dengan spontan aku mencoba melepaskan diri dari cengkeraman itu.

Seta tampak menyadari bahwa kemarahan telah menguasainya. Dia menarik napas pelan, lalu pelan-pelan melepaskan cengkeraman itu. Wajahnya berubah mendung.

Aku diam. Memang benar yang diucapkannya. Benar kalau aku menerima dia dan memilih langkah untuk hidup dengannya. Sejauh ini aku pun menyadarinya. Aku juga ingin menerima keputusan ini sebagai keputusanku. Sayangnya, beberapa menit lalu aku menjadi bertanya dan terus bertanya apakah ini adalah pilihan yang tepat.

“La, kamu mungkin terlalu lelah. Sebaiknya kita hentikan pembicaraan buruk ini” tandasnya menghindari percakapan yang jika dilanjutkan akan  memuncak menjadi pertengkaran.

Aku masih tetap diam. Diam dalam kebisuanku. Setengah hatiku mengakui kebenaran ucapannya. Aku tahu bahwa percakapan ini akan membuat segalanya menjadi rumit. Namun, setengah hatiku juga tetap meronta. Aku ingin bicara dengannya sebelum aku terbangun esok hari dengan dia di sisiku.

“Ta, tolong jangan berhenti. Aku masih ingin bicara” pintaku melemah. Aku masih tak kuasa membiaskan kegalauan dalam hatiku. Semuanya nyata terbaca dalam kata-kata.

“La, apa yang kamu inginkan sebenarnya?”pertanyaan Seta seolah membangun jurang di antara kami. Dia seolah bertanya pada seorang asing yang tak dikenalnya.

“Ta, kenapa dulu kamu meninggalkanku?” tandasku selanjutnya. Kulihat Seta secara spontan mengarahkan tatapan tajamnya yang dipenuhi kemarahan kepadaku.

”Jadi kamu masih menyimpan kenangan buruk itu La?”tanyanya tak mampu menyimpan kesedihan dan kekecewaan yang menyelimutinya.

”Aku pernah menjawabnya beberapa bulan lalu kan La?” Matanya mulai berkaca.

Aku diam. Aku ingat beberapa bulan lalu ketika aku mempertanyakan pertanyaan yang sama kepadanya. Dia meninggalkanku saat itu karena ingin menemukan dirinya sendiri. Ingin tanpaku, yang membuatnya tampak lemah sebagai lelaki karena kebergantungannya terhadapku. Ingin jauh dariku yang dianggapnya selalu berhasil mendiktenya. Ingin melepaskan diri dariku yang mencengkeramnya penuh kekuasaan dengan perhatian yang tak bisa ditolaknya. Ya…itu yang dikatakannya. Dan aku mengingat dengan jelas kalimat Seta beberapa bulan lalu itu.

”La, aku mohon. Semuanya sudah lewat. Beberapa bulan lalu kita sudah memutuskan untuk melangkah ke sini. Tolong La. Biarkan semuanya menjadi masa lalu. Hari ini semuanya akan dimulai untuk kita.” Seta mendekatiku, lalu memelukku.

Aku tak menjawab. Tak juga kuasa bergeming. Aku tahu dan sadar dengan sepenuh hatiku bahwa aku telah menyakiti hati laki-laki yang ada di hadapanku ini. Laki-laki yang kini benar-benar telah menjadi suamiku.

”Aku mencintaimu La, dengan hati dan jiwaku” bisiknya lembut ke telingaku.

Aku masih diam. Airmata makin deras menetes. Rasa sesal menyeruak seketika dalam hatiku.

”Sudah malam La, tidurlah” Seta melepaskan pelukannya dan melangkah menjauh dariku.

”Ta, bila setelah ini aku kembali menjadi orang yang ingin kau tinggakan, apakah kamu akan meninggalkan aku lagi?”

Seta menarik napas dalam. Dia menunggu beberapa saat untuk menjawab.

”La, jangan menyamakan keadaan sayang. Aku pernah menyakitimu. Aku minta maaf jika itu begitu membekas di hatimu. Kita sudah menikah sekarang La. Aku suamimu. Semuanya sudah tidak sama lagi dengan ketika itu.”

Aku masih menangis. Kesedihan yang aku rasakan saat ini adalah luka yang membekas di hatiku karena Seta pernah meninggalkanku beberapa tahun lalu. Sampai dia kembali dan akhirnya kami memutuskan menikah. Aku pun tak pernah tahu mengapa pertanyaan itu muncul malam ini.

Seta melangkahkan kakinya. Dia membuka pintu dan meninggalkanku dalam kesendirian.

Embus angin kian kencang. Aku mendekat ke arah jendela. Berdiri memandang ke langit lepas. Hitam pekat. Sayup suara keramaian masih terdengar dari bawah. Sisa-sisa kemeriahan pesta siang tadi bercampur dengan kelelahan sepertinya memberikan aroma tersendiri bagi orang-orang yang ada di sini.

Tak lama kudengar suara pintu ditutup. Seta datang dengan segelas air putih.

“Minum La” ujarnya sambil mengulurkan gelas itu kepadaku. Aku meraih gelas itu dari tangannya.

Seta pun tak bicara lagi. Dia memalingkan wajahnya. Lalu melangkah menaiki ranjang pengantin kami yang menjadi saksi bisu kepahitan hati kami malam ini. Dia segera merebahkan tubuhnya dan mencoba memejamkan kedua matanya.

“Apakah kamu akan meninggalkanku lagi suatu hari nanti Ta?” suaraku kian lirih. Airmata dalam ketakutan itu tiba-tiba mengalir.

Seta  bahkan tak mengangkat pandangan matanya ke arahku. Dia menunduk dan tak menjawab pertanyaanku. Dia memilih diam.

Malam makin sunyi. Keheningan makin marajai semua sisi waktu yang tersisa. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan angka satu. Seta tak lagi bersuara. Kulihat dia telah memejamkan kedua matanya. Aku mendekat kepadanya. Duduk di satu sisi ranjang yang lainnya. Tiba-tiba kurasakan sesak saat kulihat tetesan air mata mengalir dari mata Seta yang terpejam.

Sesal menyeruak kian dalam. Seta juga pasti memiliki rasa sakit yang sama sepertiku saat ini. Kusentuh tubuhnya. Kubelai sebelah pipinya lembut. Dan kucoba menghapus air mata yang mengalir di wajahnya.

”Maafkan aku sayang. Maafkan aku tak bisa menahan kemarahanku. Maafkan aku membuatmu menangis malam ini. Aku mencintaimu”bisikku di telinganya.

Kurangkulkan tanganku pada tubuhnya. Kurasakan kegetiran ini semakin dalam. Meski ada sedikit pertanyaan yang masih ingin kudengar jawabannya dari dia, tapi aku tak bisa memaksanya untuk bicara. Seta membuka kedua matanya.

”La, percayalah pada pilihan kita sendiri” bisiknya halus. Aku makin merapatkan tubuhku dalam pelukannya. Kurasakan kedua tangan Seta juga memelukku kian erat.

”Ya, aku pernah meninggalkanmu. Aku pernah menyakitimu. Maafkan aku La bila hatimu masih terluka” ujarnya menahan tangis. Kurasakan butiran air menetes di pundakku.

”Aku mohon La. Aku mohon lupakan itu. Aku tak akan pernah meninggalkanmu lagi La. Aku bersumpah demi Tuhan.” suara Seta terdengar kian parau.

Aku tak bersuara. Rasa takut itu masih ada. Aku mencintainya. Mencintainya dan begitu takut ia menyakitiku lagi.

Wangi melati masih memenuhi kamar pengantin ini. Aku tak bicara apa pun lagi. Kulempar semua pertanyaan yang ada di kepalaku jauh. Tak mau mengucapkannya lagi pada lelaki yang semakin erat memelukku ini. Kucoba memejamkan kedua mataku. Menarik napas dalam dan sesekali membelai kekasihku ini. Aku ingin semua menjadi kebahagiaan yang tak menyisakan bayangan pahit masa lalu. Karena inilah yang aku pilih. Ini juga yang harus kujalani.

19754_1262693761357_1050104062_30619833_6259524_n

Jakarta 2005-2010

Leave a comment