Malam ini aku rindu menulis lagi. Iya, aku kangen. Kangen menuangkan semua kegelisahan ini dalam larik-larik manis yang suatu hari bisa kembali kubaca. Kangen dengan ekspresiku sendiri yang selalu kukatakan dengan keterusterangan.
Iya, aku sedang bosan. Bosan dengan kepura-puraan. Bosan berpura-pura jadi orang manis yang tenang. Yang tidak meledak-ledak walaupun sebenarnya ada ratusan atau bahkan jutaan petasan yang ingin diledakkan.
Aku menunggu. Lama sekali. Lalu hari ini, sakit di kepala tak bisa ditahan lagi. Sebuah sinyal alam bahwa ini tak selesai jika hanya coba kutahan dalam pikiran.
Jumat malam. Seharusnya akus senang menyambut libur akhir pekan. Namun, tetek bengek “sialan” ini merampas ketenanganku menikmatinya. Seperti tak cukup kehilangan akhir2 minggu lainnya karena kesibukan, akhir minggu yang harusnya bisa jadi waktu berleha-leha ini pun sepertinya harus juga dirampas oleh ketidaktenangan.
Yup. Aku muak dengan sederet manusia ini. Aku bahkan lebih menyukai kucing-kucing liar belakangan ini karena terlalu muak dengan manusia-manusia tak berperikemanusiaan yang aku temui.
Kadangkala hidup menjadi begitu rumit ketika kita bertemu manusia-manusia serakah yang tak punya hati. Atau manusia jenis lainnya yang lupa dengan tanggung jawab dan janji-janjinya sendiri. Mereka yang suka membuat keputusan, lalu lupa dengan apa yang diputuskannya. Katakan padaku bahwa kau amnesia. Katakan. Biar kuantar kau untuk pergi berobat segera.
Lihatlah… Ketidakbertanggung jawabanmu itu berujung pada apa. Pernahkah kau pikir sekali saja?
Akh… Betapa sia-sia.
Malam ini aku merasa sudah lelah jiwa dan raga. Aku tahu segalanya tak pernah ada yang percuma. Tapi rasanya, bagiku, segala daya yang kubuat upaya pun tak pernah menemukan titik ujung penyelesaiannya. Tidak akan, mungkin sampai manusia-manusia serakah , tak bertanggung jawab, dan tak berhati itu punah dari alam dunia.
Seekor induk kucing yang sedang merawat kedua bayinya yang baru lahir itu telah membuat trenyuh hatiku. Hingga mataku pun berkaca-kaca. Dan di situlah aku sadar betapa sensitifnya perasaanku ini. Bahkan ketika aku menulis bait ini, air mataku jatuh tak terbendung lagi.
Iya, aku terharu dengan perilaku manusiawi seekor kucing. Sementara itu, aku begitu jijik dengan perilaku ketidakmanusiaan mereka yang diberi gelar sebagai manusia.
Sisa hujan sore tadi belumlah hilang. Dingin masih menerjang-nerjang. Juga kegelisahanku malam ini.
Tuhan, aku butuh penunjuk jalan agar tak tersesat di tempat penuh ketidakmanusiawian seperti tempatku berdiam sekarang.
-An-28102016