Kangen

Malam ini aku rindu menulis lagi.  Iya,  aku kangen.  Kangen menuangkan semua kegelisahan ini dalam larik-larik manis yang suatu hari bisa kembali kubaca.  Kangen dengan ekspresiku sendiri yang selalu kukatakan dengan keterusterangan.

Iya,  aku sedang bosan.  Bosan dengan kepura-puraan.  Bosan berpura-pura jadi orang manis yang tenang.  Yang tidak meledak-ledak walaupun sebenarnya ada ratusan atau bahkan jutaan petasan yang ingin diledakkan.

Aku menunggu.  Lama sekali.  Lalu hari ini,  sakit di kepala tak bisa ditahan lagi.  Sebuah sinyal alam bahwa ini tak selesai jika hanya coba kutahan dalam pikiran.

Jumat malam.  Seharusnya akus senang menyambut libur akhir pekan.  Namun,  tetek bengek “sialan” ini merampas ketenanganku menikmatinya.  Seperti tak cukup kehilangan akhir2 minggu lainnya karena kesibukan,  akhir minggu yang harusnya bisa jadi waktu berleha-leha ini pun sepertinya harus juga dirampas oleh ketidaktenangan.

Yup.  Aku muak dengan sederet manusia ini.  Aku bahkan lebih menyukai kucing-kucing liar belakangan ini karena terlalu muak dengan manusia-manusia tak berperikemanusiaan yang aku temui.

Kadangkala hidup menjadi begitu rumit ketika kita bertemu manusia-manusia serakah yang tak punya hati.  Atau manusia jenis lainnya yang lupa dengan tanggung jawab dan janji-janjinya sendiri.  Mereka yang suka membuat keputusan,  lalu lupa dengan apa yang diputuskannya.  Katakan padaku bahwa kau amnesia.  Katakan.  Biar kuantar kau untuk pergi berobat segera.

Lihatlah… Ketidakbertanggung jawabanmu itu berujung pada apa.  Pernahkah kau pikir sekali saja?

Akh… Betapa sia-sia.

Malam ini aku merasa sudah lelah jiwa dan raga. Aku tahu segalanya tak pernah ada yang percuma.  Tapi rasanya,  bagiku,  segala daya yang kubuat upaya pun tak pernah menemukan titik ujung penyelesaiannya.  Tidak akan,  mungkin sampai manusia-manusia serakah , tak bertanggung jawab,  dan tak berhati itu punah dari alam dunia.

Seekor induk kucing yang sedang merawat kedua bayinya yang baru lahir itu telah membuat trenyuh hatiku.  Hingga mataku pun berkaca-kaca.  Dan di situlah aku sadar betapa sensitifnya perasaanku ini. Bahkan ketika aku menulis bait ini,  air mataku jatuh tak terbendung lagi.

 

Iya,  aku terharu dengan perilaku manusiawi seekor kucing.  Sementara itu,  aku begitu jijik dengan perilaku ketidakmanusiaan mereka yang diberi gelar sebagai manusia.

Sisa hujan sore tadi belumlah hilang.  Dingin masih menerjang-nerjang.  Juga kegelisahanku malam ini.

Tuhan,  aku butuh penunjuk jalan agar tak tersesat di tempat penuh ketidakmanusiawian seperti tempatku berdiam sekarang.

 

-An-28102016

 

 

 

Gelar Wicara Hasil Penelitian

Dalam acara Riset Expo UNJ 2017 yang diselenggarakan pada Selasa dan Rabu, 23 dan 24 Mei 2017, Dr. Liliana Muliastuti, M.Pd., Dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni melaksanakan gelar wicara hasil penelitiannya yang berupa produk pengembangan materi ajar BIPA Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) berbasis CEFR (Common European Framework of Reference). Produk materi ajar yang dikembangkan tersebut kemudian diberi tajuk  Buku Senandung Bahasa.  Buku tersebut merupakan hasil penelitian yang dilakukan beliau pada tahun 2014 sampai dengan 2015.

Dalam gelar wicara tersebut, beliau memaparkan beberapa poin penting berkenaan hasil penelitiannya. Pertama, urgensi kebutuhan materi ajar BIPA yang saat ini masih sangat jarang ditemukan merupakan alasan utama mengapa penelitian tersebut beliau lakukan. Kedua, belum adanya kurikulum terstandar yang disahkan pemerintah sebagai dasar pengajaran pada  saat itu memotivasi beliau untuk berkeyakinan bahwa basis CEFR yang sempat diadopsi dan diadaptasi menjadi embrio kurikulum yang dikembangkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada akhir tahun 2014 adalah satu-satunya pilihan yang cocok untuk dapat meniti langkah lebih lanjut dalam berkontribusi terhadap pengembangan materi BIPA. Basis CEFR yang diadopsi dan diadaptasi ini dianggap cocok karena selain sesuai dengan kondisi bangsa kita yang multikultural, CEFR ini juga sudah banyak digunakan oleh negara-negara lain dalam pembelajaran bahasa kedua.

Dua alasan penting yang beliau paparkan tersebut merupakan langkah yang juga sejalan dengan amanah UU Republik Indonesia No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan yang salah satu pasalnya membahas peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap. Melalui penelitian ini, beliau ingin berkontribusi terhadap pengajaran BIPA yang menjadi salah satu pintu untuk tercapainya tujuan tersebut. Beliau juga berharap kehadiran buku ini di tengah-tengah maraknya pengajaran BIPA dapat menjadi motivasi bagi para pengajar lain untuk mengembangkan produk yang sama di kemudian hari.

Buku Senandung Bahasa yang beliau hasilkan merupakan buku pengajaran BIPA yang berbeda dari buku-buku yang telah ada sebelumnya. Buku ini dianggap berbeda karena disajikan dalam bentuk tiga buah buku yang terdiri atas buku pelajaran siswa, buku kerja siswa, dan buku pengajar yang akan menjadi panduan bagi para pengajar BIPA. Dengan konsep ini, beliau berharap akan ada variasi baru dalam buku pelajaran BIPA dari yang telah ada selama ini. Adapun isi buku tersebut disusun menggunakan pendekatan terintegratif yang menampilkan empat keterampilan berbahasa (menyimak, membaca, menulis, dan berbicara) dengan dukungan materi tata bahasa dan informasi budaya Indonesia yang disajikan dalam pelangi Indonesia. Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan  audio menyimak dan buklet audio dengan tampilan menarik yang  bisa digunakan oleh pengajar untuk memandu dirinya menggunakan audio tersebut.

Namun, dalam kesempatan tersebut, beliau juga memaparkan kekurangan dari hasil penelitiannya. Beberapa kelemahan dari hasil penelitian ini adalah produk buku tersebut berbahasa Indonesia sehingga mungkin tidak dapat digunakan oleh pengajar yang menggunakan bahasa lain sebagai bahasa pengantar dalam pengajaran BIPA-nya. Kelemahan lainnya adalah pada sajian materi tata bahasa yang dianggap belum mencukupi.

Segala kelebihan dan kekurangan yang beliau sampaikan dalam paparannya merupakan masukan dari para pengguna buku BIPA tersebut saat beliau melakukan uji coba di beberapa universitas seperti UNJ, Politeknik Negeri Jakarta, STBA LIA Jakarta, dan Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Segala masukan dari pihak pengguna tersebut menjadi motivasi yang besar sehingga beliau pun menyampaikan pada tahun 2018 nanti, rencananya akan diterbitkan buku tata bahasa untuk pengajaran BIPA sebagai kelanjutan dari penelitian ini. Kelak, buku tersebut diharapkan akan menjadi jawaban yang akan menjadi penyempurna kelemahan penelitian ini.

Romantika Berumah Tangga

Hal berat yang dialami perempuan adalah merasa kehilangan cinta suaminya. Dan itu yang selalu saya takutkan di dalam hidup saya.

Coba beri tahu aku, di mana ada seorang istri yang merasa kehilangan cinta suaminya dan ia tetap bahagia?

Ayo coba….

 

Berumah tangga itu memang benar ibadah yang paling lama. Ujian-ujiannya paling berat. Sungguh soal matematika, IPA, atau panjangnya soal ujian bahasa Indonesia belum ada apa-apanya.

Lelaki dan perempuan, sepasang manusia yang Allah ciptakan dengan sudut pandang berbeda, dan harus hidup bersama untuk belajar saling memahami. Di sanalah letak sulit prosesnya.

Seperti pengalaman tiga hari ini. Bukan yang pertama, tapi lagi dan lagi. Kali selanjutnya ketika saya bosan, sementara suami sibuk sendiri.

Ujian bagi dia sebenarnya karena kesibukan yang sering membuat dia abai kepada saya hanya satu, yaitu tesisnya. Kemudian, sebagai istri yang sedang kambuh manjanya, saya sebal sekali kalau dia seharian penuh terus saja sibuk dengan tesisnya itu. Itulah yang kerap menjadi awal mula pertengkaran kami. Makanya saya berdoa semoga dia cepat-cepat selesai dengan kuliahnya itu. Hufft.

Dan selalu, setiap bertengkar, kami punya fase diam, sampai akhirnya selalu berlanjut dengan saya sakit.

Kali ini pun sama. Setelah ngambek dua hari, pagi tadi saya pergi bawa anak saya jalan-jalan. Sendiri, ga pake adegan ajak megajak suami. Saya jalan jauh untuk pertama kalinya sendirian. Jalan berkilo-kilometer sambil gendong bocah dan bawa belanjaan dari pasar.

Sampai di rumah masih cuek-cuekan. Suami asik tidur, saya asik diam dan ga ngomong apa-apa sama dia. Seperti orang kucing-kucingan. Kalau suami ke sini, saya ke sana. Suami ke luar kamar, saya masuk kamar. Begitulah.

Sampai akhirnya saya masuk kamar dengan sedikit sakit kepala. Niat hati merebahkan badan dengan minum obat pereda sakit supaya sakit hilang, kepala saya justru makin sakit. Panik kemudian, sepertinya saya kena vertigo. Maka, mulai menangislah saya. Suami  panik. Ambil air panas buat kompresan, sementara saya masih nangis-nangis sambil nutup mata karena seperti sedang diputar-putar.

Ibu saya ikut panik. Langsung sigap pijat leher, punggung, dsb. supaya saya tak kesakitan. Suami langsung ke apotek cari obat vertigo. Selang beberapa waktu, setelah minum obat yang dibeli dari apotek, suami duduk di samping saya sambil mengelus-elus kepala dan rambut saya, menunggu saya tertidur.

Tertidur beberapa saat, ternyata vertigo saya belum hilang. Setiap balik badan ke kanan, pusingnya menjadi-jadi. Badan serasa diputar dan saya menangis lagi. Jadilah saya harus tidur menghadap ke kiri terus beberapa jam tadi.

Sepanjang saya sakit, suami dengan sabar jaga si bayi. Si bayi yang lompat sana sini, lari sana sini ditemaninya dengan telaten. Dia juga mondar-mandir ke kamar, khawatir saya butuh sesuatu. Saya pikir jarang lihat lelaki setelaten suami saya ini. Saya memang beruntung.

Menjelang sore, dia harus berangkat kerja. Berat hati ditinggal suami karena kalau sedang sakit begini, biasanya saya manja. Maunya ditungguin, disayang-sayang, diusap-usap. Sama kayak waktu hamil dulu. Setiap hari, suami harus pijitin saya setiap pulang kerj. Lagi-lagi saya beruntung karena dia ga pernah ngeluh. Saya berharap dia tetap di sini malam ini. Jagain saya, nemenin saya. Tapi karena sudah tiga hari suami libur, tak mungkin lagi dia ambil cuti.

Malam ini, kepala saya masih sakit walaupun memang tak separah siang tadi. Rasanya bete sendirian di kamar. Maunya saya ditemani dia. Eh, dia malah wa kalau malam ini dia piket, dan mungkin akan pulang pagi karena besok dia ambil cuti buat mengerjakan tesisnya.

Senang dia libur, tapi kesal karena dia libur demi tesisnya, bukan demi saya. Dilematis rasanya. Bener sih saya pengen dia cepat lulus, tapi sambil proses lulusnya, saya ga mau dia nyuekin saya gara-gara tesisnya itu. Berasa diduain sama tesis. Gila ya, sama tesis aja saya cemburu.

Ah, kadang merasa egoistis memang, tapi salah dia juga karena mau beristrikan perempuan manja kayak saya. Ya, gimana lagi. Kadang saya pun sadar kalau ini demi masa depan, tapi di sisi lain, saya juga ga mau kehilangan cinta dia. Ga mau kehilangan perhatian dia, apalagi di saat-saat berat dalam hidup saya seperti ini. Saya berharap dia ada, selalu ada. Walaupun saya sadar, dia juga pasti kesal karena saya selalu jadi ujian berat buat dia di saat dia sedang berusaha menyelesaikan kuliahnya.

Ya, entahlah. Saya juga bingung. Mungkin memang ujian harus selalu datang dalam kehidupan rumah tangga. Ujian-ujian lain aman, eh ujian macam ini yang dikasih Allah buat dia.  Namanya juga ibadah seumur hidup. Beratlah pasti ujiannya. Iya ga sih? Udah, iyain aja. Hehe

Itu namanya romantika, romantika berumah tangga. Begitu saya menyebutnya. Kadang terasa pahit, tapi akhirnya berakhir manis kalau sudah bisa dilewati. Semoga ini bisa terus kami lewati. Aamiin. Doain ya.

Pokoknya, saya cuma pengen bilang, cepet lulus, Ayah. Mama sebel sama tesis Ayah. Sumpah.

 

 

 

 

 

 

Kepadamu; Lelaki yang Bersumpah untuk Mencintaiku Selamanya; Terima Kasih

Selamat malam, lelakiku….

Kamu yang sebulan lalu mengucap sumpah untuk menghidupiku selamanya, aku berterima kasih kepadamu. Terima kasih untuk mengizinkanku mengecap manisnya kehidupan yang baru. Memberiku kesempatan untuk melangkahkan kaki dalam sebuah pijakan kokoh yang membuatku sadar betapa hidup begitu berharga. Juga tentang betapa beruntungnya karena aku bisa menemukan sesuatu yang sempat kupikir tiada.

Tahukah kamu? Debar-debar itu masih terasa. Manisnya perjalanan kita yang singkat menuju keputusan besar untuk hidup bersama. Juga semua yang menjadi detak kenangan sejak pertama kamu menyatakan cinta. Aku mengingatnya dengan sangat jelas. Dan aku mensyukurinya. Kemudian, sesekali juga merinduinya.

Kamulah lelaki itu. Dan aku tak punya banyak kata untukmu. Bagiku, setiap gerak langkah ini, kini, semua adalah untuk kita. Jadi, cukuplah kau izinkan aku mengungkapkan perasaan cinta itu dengan diriku ini sepenuhnya. Aku yang tak akan pernah berhenti berdoa untuk kita. Aku yang akan selalu ada di sisimu hingga kita menua. Aku yang akan selalu manja dan selalu ingin kaujaga. Akulah yang kini kau sebut istri itu. Akulah yang insyaallah kelak akan kau sebut ibu dari anak-anakmu. Dan aku pulalah yang akan terus mengiringimu dalam segala suka dan duka.

Maka, jatuh cintalah kepadaku selamanya. Jatuh cintalah kepadaku meski aku dalam keadaan paling buruk sekalipun. Jatuh cintalah kepadaku, bahkan ketika  omelanku yang bersarang di telingamu membuatmu lelah. Jatuh cintalah terus, jangan berhenti. Sebab, seperti itulah cinta yang nyata. Dan begitupun aku.  Aku akan jatuh cinta kepadamu. Satu dalam hidupku, hingga Tuhan memisahkan kita.

Kamu, lelakiku yang satu-satunya. Tetaplah mencintaiku seperti janjimu sebulan lalu. Janji yang kau ambil atas nama Tuhanmu. Janji yang disaksikan langit dan bumi. Perjanjian berat yang akan dimintai pertanggungjawabannya dengan semua kesiapanmu menghadapi ujian saat kau bersamaku.

Dan ini tidak mudah. Juga tidak sesederhana yang dikira. Seabab “Mitsaqaan Ghalizah” yang kau ambil itu, ia adalah sesuatu yang mulia dan sama beratnya dengan perjanjian yang diminta oleh Allah kepada para nabi  saat mereka dipilih sebagai nabi. Maka, menjadi kuatlah. Kau adalah imamku, dan aku akan mengikuti dirimu. Bagaimana diriku nanti, itu adalah bagaimana hebatnya kau membentukku.

Kamu, lelakiku. Yang telah bersumpah untuk mencintaiku, jagalah sumpahmu itu dengan terus menjagaku. Bimbing aku dan keluarga kita nanti hingga kelak kita pantas mendapatkan surga  sebagai tempat tinggal abadi.

(Bekasi, 14 Februari 2017)

 

putih-1putih-3

Rabu, Rindu….Aku Pilu

Sedalam apa pun luka ini
Sekejam apa pun kepergian ini

Hari ini, aku melihatmu kembali
Dan aku ingin sekali mati

Tanpamu, pagi hari berlarian tanpa harapan
Tanpamu, malam hari tersayat kesepian

Aku rindu pagimu
Rindu malammu
Rindu kamu

Tak ada yang benar-benar setia
Begitu pun kamu
Dan Rabu yang terasa rindu
Hatiku dicekam pilu

Rabu, rindu kamu
Aku masih ingin bernapas dalam pelukmu

An-24022016

Pembenaran

“Sedikit sulit untuk memaafkan dirimu sendiri bukan,An?”, katamu senja itu. Aku diam. Masih bergeming dengan pikiranku sendiri.
” Sakitkah yang dirasakan hatimu kali ini? Atau lebih dari itu?, ucapmu lagi melanjutkan kalimat-kalimat sindiran yang tak henti kaulemparkan padaku.

Yah, satu bulan berlalu. Aku muak. Muak dengan sindiran itu. Muak dengan segala kesoktahuanmu itu.

“Sakit itu tak akan reda, An. Bahkan akan terus bertambah”. Kalimat terakhirmu itu terus terngiang di telingaku. Aku muak padamu. Aku benci padamu. Aku ingin menikam jantungmu hingga kau mati. Agar kau diam dan menutup mulut sialanmu itu. Sungguh  aku ingin. Tapi aku tak bisa. Aku tak boleh. Sebab kau benar. Kau benar bahwa kali ini aku menyesal. Bahwa kali ini hatku lebih dari sakit. Aku merasakan sayap-sayapku patah. Juga keyakinanku pada diriku srndiri. Juga memang benar aku merasa bersalah. Aku juga merasa sangat bodoh. Tapi tahukah kau apa yang lebih menyakitkan dari itu semua?

Iya, aku tidak bisa memperbaiki keadaan itu meski aku sangat ingin.

Ketika penyesalan sudah tak ada gunanya. Ketika yang pergi tak mungkin lagi kembali meskipun aku sangat rindu padanya. Ketika itu, ketika semua yang terjadi sudah terjadi dan terlanjur terjadi. Bahkan ketika sakit hatiku begitu keras menyalahkanku. Apa yang kau ingin aku lakukan? Menangis, menyesal, meminta maaf? Sudah, sudah aku lakukan. Dan saat ini aku sedang berjuang untuk memaafkan diriku sendiri. Sebab itu, kau mungkin benar. Tapi kebenaranmu sangat kubenci. Kebenaranmu itu sampaikanlah, tapi aku tak mau mendengarnya lagi. Sebab aku juga muak dengan itu. Sebab aku ingin dengan pembelaanku sendiri atas nama pembenaranku.

Jika ia benar mencintaiku, dia tak akan pernah melepaskan tanganku yang pernah diminta ulurannya dariku. Tapi dia melakukannya. Oleh karena itulah, cinta atau penyesalanku tidak akan kuperjuangkan. Jadi, berhentilah menyindirku. Biarkan aku memaafkan diriku sendiri. Dan biarkan aku hidup dengan pembenaranku. Kali ini, ya kali ini. Kali lain tak akan kuulangi. Aku janji.

-An14022016-

Ajari Aku agar Pantas Hidup Seribu Tahun Lagi di Sisimu

Mungkin kau kerap kali melihatku menulis sesuatu. Meski tak kusebut namamu atau nama siapa pun di sana, aku pikir, sesekali kau pasti geram juga.

Yah, demikianlah. Begitu menyebalkannya aku bagimu mungkin. Dan kupikir bukan hanya kamu. Orang-orang yang juga menyimpan prasangkanya masing-masing, mungkin sama geramnya dengan dirimu. Tapi sudahlah, jangankan kalian, aku sendiri pun kadang bingung untuk siapa menulis semua itu. Yah, mungkin itu untukmu. Mungkin juga untuk selainmu. Atau bahkan mungkin hanya untukku. Barangkali lebih parah lagi, itu hanya untuk angin yang berlalu. Jadi jangan marah.

Aku juga pernah melihatmu menulis sesuatu. Bahkan dari awal itulah aku mengenalmu. Itu juga yang barangkali menjadi pintu pembuka hingga aku bisa jatuh hati padamu. Namun, sebaliknya, aku juga pernah melihatmu menulis sesuatu, hingga aku menjadi ragu pada cintaku sendiri. Ragu kepadamu, ragu pada apa yang kupercayai belakangn ini. Kemudian kupikir lagi, ya sudahlah, barangkali kamu juga sama saja sepertiku. Jadi tak perlu kubesar-besarkan apalagi sampai membuatku marah kepadamu.

Kamu tahu? Aku sedang merenungi sesuatu. Tentangmu. Tentang kita.

Aku bertanya pada diriku sendiri, sudah sejauh apa aku percaya padamu? Sudah seyakin apa aku pada hatiku sendiri? Dan jawabnya, hanyalah sebuah permintaan maaf padamu karena ternyata aku harus belajar lagi untuk lebih tulus sayang kepadamu.

Aku tidak bisa membedakan ketulusan dan ketakutan. Aku bilang, aku sayang padamu. Aku juga tulus kepadamu. Tapi, sepertinya ada yang harus kubenahi lagi.

Ketika aku masih menyimpan keraguan dan ketidakpercayaan walau hanya setitik padamu, benarkah pernyataanku itu?

Aku bahkan masih menyimpan *senjata* yang suatu hari mungkin akan kupakai untuk menjatuhkan dirimu. Iya, bila suatu hari kamu mengkhianatiku atau mencampakkanku, aku siap mengangkat *senjata* itu untuk menyerangmu. Dan hari ini, tiba-tiba saja aku merasa bersalah.

Jika aku percaya padamu, harusnya kubuang *senjata* itu. Seperti tidak pernah kudengarkan cerita-cerita buruk tentang dirimu. Seperti itulah seharusnya aku lenyapkan *senjata* itu. Tapi aku masih menyimpannya, dan aku merasa jahat padamu karena aku belum benar-benar percaya kepadamu.

Ketakutan itu ternyata masih besar saja dalam diriku. Kau pernah bilang padaku, lepaskan ketakutan itu jika kau mau. Lalu aku bilang padamu bahwa aku tak akan mengulurkan tangan jika aku tak yakin ada yang siap menyambutku. Apakah kau ingat tentang itu?

Tapi pada akhirnya aku mengulurkan tanganku sambil kubilang padamu, ini pertama kalinya aku bisa mempercayai seseorang dengan begitu mudah. Aku senang, aku juga takut. Dua hal yang sama besar yang sepertinya siap mendorongku pada kebahagiaan atau sebaliknya, menjerumuskanku pada kesedihan (lagi).

Kau bilang, aku harus berani. Jika aku tak salah, aku benar. Itu ucapmu. Aku masih belum mengerti. Aku belum sepenuhnya memahami apa maksud kalimat itu. Tapi tanpa sadar, aku berani bertaruh dengan ketakutanku sendiri.

Hidup kadang terasa aneh. Ketika aku merasa yakin dan ragu dalam detik yang sama. Ketika aku merasa senang dan takut dalam detik yang sama. Mereka bilang aku sedang jatuh cinta. Mungkin benar aku jatuh cinta padamu. Tapi aku menyesal, mengapa aku tidak benar-benar memahami bagaimana mencintaimu dengan lebih tulus dari yang kulakukan kali ini.

Maafkan aku, aku sungguh-sungguh ingin tulus kepadamu, tapi ternyata, ketakutanku datang lagi dan lagi, sehingga setiap kali kamu melakukan sesuatu yang tidak aku inginkan, aku mulai ragu kepadamu. Aku tidak mengerti, apa sudah pantas semua itu disebut cinta? Aku benar-benar bingung.

Kemudian, ketika aku membuat orang lain kecewa padaku karena aku memilihmu dan aku merasa bersalah pada mereka, apakah itu sudah bisa disebut cinta?

Ini adalah catatan kebimbanganku sendiri. Aku tak akan mengemis padamu untuk semua perhatian yang lebih. Aku juga tidak akan memusuhimu tiba-tiba karena sesuatu yang kusebut kecewa. Aku hanya ingin belajar percaya dan menerima tanpa rasa takut lagi sedikit pun. Iya, walau setitik hitam itu. Aku ingin percaya padamu dan menerimamu penuh terlepas kau bisa dipercaya atau tidak, itu bukan urusanku. Yang aku mau hanya bagaimana aku benar-benar sayang padamu tanpa rasa takut disakiti dan dikhianati olehmu. Juga tentang bagaimana aku melupakan dirimu di masa lalu dan membuang semua *senjata* yang mungkin bisa melukai dirimu sedikit saja.

Kau tahu? Hanya itu. Aku hanga ingin Tuhan mengajariku hal itu.

Sebab aku mau percaya bahwa kau bukan seorang pembohong yang akan mengkhianati kalimatmu sendiri bahwa kau tidak pernah punya niat tak baik kepadaku. Sementara bagaimana dirimu membawa langkahmu di belakangku, kuserahkan tanggung jawab itu pada Tuhanmu yang selalu menyaksikan kelakuanmu.

-An- (01012016)

Posted from WordPress for Android Annamarlien

Tentang Rindu

Hanya rindu, tapi entah apa yang benar-benar aku rindukan. Tidak kutuju satu nama dalam catatan ini. Hanya sebuah situasi yang menggugahku pada rasa rindu. Kerinduan sederhana pada detik yang hangat. Detik yang tiap detaknya membuat dag dig dug. Detik yang penuh pesona juga romansa. Yah, mungkin benar aku rindu bisa kembali mencinta seperti selayaknya orang-orang muda. Sekalipun tidaklah semuda dahulu, tapi aku percaya bahwa kemudaan itu masih kekal menetap di jiwaku.

Aku ingin kembali jatuh cinta pada sebuah teduh mata. Pada lembutnya kata-kata. Pada yang menggetarkan dada setiap kali aku mengingatnya. Sudah cukup lama rasanya aku melewatkan kebahagiaan dalam nada serupa. Aku ingin merindu lagi sebuah hati. Yah….semoga masih ada kesempatan sederhana itu setelah banyak badai menerpa.

Setiap peristiwa meninggalkan banyak sisa di dalamnya. Terserah mau kita buat apa. Sementara itu, aku memilih sembuh dan bangkit. Melupakan setiap peristiwa buruk dan membuka harapan baru dalam sebuah keyakinan bahwa aku berhak bahagia tanpa kepahitan atau kemuraman masa lalu. Setidaknya aku selalu yakin itu, selama aku berdiri di jalan yang baik, Allah akan mempertemukanku dengan orang baik itu di suatu waktu yang tepat dengan cara paling indah.

Terima kasih, sebab aku masih sama. Masih orang yang tidak pernah mencatat kemarahan dan kebencian terhadap siapa pun. Semoga itu membuatku pantas bahagia. Aamiin

-An-

Tentang Rindu

Hanya rindu, tapi entah apa yang benar-benar aku rindukan. Tidak kutuju satu nama dalam catatan ini. Hanya sebuah situasi yang menggugahku pada rasa rindu. Kerinduan sederhana pada detik yang hangat. Detik yang tiap detaknya membuat dag dig dug. Detik yang penuh pesona juga romansa. Yah, mungkin benar aku rindu bisa kembali mencinta seperti selayaknya orang-orang muda. Sekalipun tidaklah semuda dahulu, tapi aku percaya bahwa kemudaan itu masih kekal menetap di jiwaku.

Aku ingin kembali jatuh cinta pada sebuah teduh mata. Pada lembutnya kata-kata. Pada yang menggetarkan dada setiap kali aku mengingatnya. Sudah cukup lama rasanya aku melewatkan kebahagiaan dalam nada serupa. Aku ingin merindu lagi sebuah hati. Yah….semoga masih ada kesempatan sederhana itu setelah banyak badai menerpa.

Setiap peristiwa meninggalkan banyak sisa di dalamnya. Terserah mau kita buat apa. Sementara itu, aku memilih sembuh dan bangkit. Melupakan setiap peristiwa buruk dan membuka harapan baru dalam sebuah keyakinan bahwa aku berhak bahagia tanpa kepahitan atau kemuraman masa lalu. Setidaknya aku selalu yakin itu, selama aku berdiri di jalan yang baik, Allah akan mempertemukanku dengan orang baik itu di suatu waktu yang tepat dengan cara paling indah.

Terima kasih, sebab aku masih sama. Masih orang yang tidak pernah mencatat kemarahan dan kebencian terhadap siapa pun. Semoga itu membuatku pantas bahagia. Aamiin

-An-

Refleksi -Pengakuan Dosa; Berdiri Kembali pada Satu Titik Kesedihan-

Jakarta, 7-10-2014
Kali ini aku tidak ingin menulis tentang kesepian. Sebab kesepian terlalu biasa. Kesepian tak ada apa-apanya dibanding titik ketika aku tuliskan baris-baris kalimat pada lembaran ini. Kali ini.

Iya benar, mungkin banyak hal dalam hidupku adalah sebuah kesalahan. Aku merasa jatuh kali ini. Jatuh karena tiba-tiba setiap optimisme yang biasanya mengalir deras pada diriku hilang.

Mereka menyemangati, iya, tapi kali ini tidak dengan keluargaku. Itulah kenapa aku merasa sendirian. Rasanya seperti berada pada putaran roda yang tepat pada perlintasan dasar. Aku terpuruk. Kehilangan energi dan ketabahanku sendiri.

Aku tahu, salah jika kugantungkan kebahagiaanku di tangan orang lain. Maka, kuharap, diriku ini terlepas dari setiap ketergantunganku kepada seseorang atau sesuatu hal. Semoga aku bisa berdiri dalam keyakinanku yang kokoh dengan Tuhan sebagai satu-satunya Zat tempat kugantungkan setiap hal dalam kehidupan ini.

-An-