Dua Warna Dua Rasa

JAKARTA DALAM KETERASINGAN MALAM

Mendung menggelayuti kelam. Aroma cuaca menghantarkan wangi. Bersama angin yang berembus, dingin cuaca terasa membeku. Dan aku masih berdiri di tempat yang sama. Pada keheningan hati dan kesendirian yang begitu panjang.

“Lalu sepi ini milik siapa?”tanyaku dalam kelu. Sepi itu tak bersuara. Raut wajahnya semakin nampak jelas. Dia menyeringaikan senyuman hangat yang semakin lama terasa semakin hambar.

“Dunia ini sebentar lagi akan berakhir, Jan!” lanjutku masih kelu. Wajah Januar masih tetap sama. Rata tanpa ekspresi. Aku hanya menunggunya berbicara.

“Apa maumu?” pertanyaan singkat itu tiba-tiba dilontarkannya. Aku pun tak langsung menjawab. Aku coba menyusun kata-kata yang terlalu banyak ini untuk kuucapkan. Aku susun satu demi satu agar semua akhirnya dapat terucapkan dengan baik.

“Maksudmu?” tanyaku terbata. Meski aku mengerti apa yang diingini Januar, aku masih terus berpura-pura tak mengerti.

“Aku mau kamu mengatakan semuanya padaku” jawabku kemudian. Januar yang lugu tampak semakin lugu mendengar jawaban yang aku lontarkan.

“Tentang apa?”tanyanya lagi.

Kesesakan semakin mengental. Lima tahun sudah aku diam. Dan aku hanya perlu kata yang jelas darinya. Bukan sebuah pertanyaan yang membuat aku semakin bingung.

“Sungguh Jan kamu tak mengerti apa yang aku inginkan?” kulemparkan lagi sebuah pertanyaan untuk mempertegas semuanya. Januar lugu hanya mengangguk.

“Seperti waktu Jan, semuanya pun akan berlalu. Kenangan kita, harapan kita, lagu-lagu kita, dan mungkin hidup kita” ucapku selanjutnya. Januar masih diam.

“Aku sudah lama diam mempertanyakan semua kesukaran ini dalam hatiku. Kurasa bisa Jan terus hidup dalam kebohongan. Kurasa aku sanggup Jan berpura-pura sepertimu dan menguntai sebuah hubungan sederhana denganmu. Ya, aku rasa aku bisa menjadi temanmu selamanya. Tapi Jan, maafkan aku, aku ternyata tak bisa” lanjutku lagi.

Kutarik napas dalam. Januar dengan raut wajah datar masih  bergeming. Bahkan ia masih tak bersuara lebih banyak dari sebelumnya. Dan aku merasa semakin yakin bahwa keputusan ini adalah keputusan terbaikku. Aku memang harus pergi dari Januar untuk sebuah masa depan lain yang lebih baik.

“Aku minta waktu” pintanya  kemudian. Aku menarik napas lagi untuk kesekian kalinya.

“Aku tak punya Jan, maafkan aku” tandasku sesak. Kubiarkan dadaku kembali terhimpit oleh kesesakan ini lagi. Sudah terlalu lama kubiarkan kesesakan ini mencekik diriku. Membiarkan Januar lega dengan kebohonganku dan hidup dengan kepura-puraan yang semakin menyakitkan. Tapi, hari ini aku memilih mengakhiri sesak ini. Walau sesaknya melebihi yang  biasa, setidaknya ini untuk terakhir kalinya.

“Jadi, kamu mau pergi?”tanya Januar selanjutnya. Rasanya aku akan meminta yang lain pada Januar seandainya aku bisa. Tapi sayang, aku tahu bahwa Januar memang menginginkan ini dari dulu.

“Maaf Jan, aku selalu berpikir buruk tentangmu. Entah mengapa aku merasa kamu memang mengingini aku pergi dari hidupmu. Benarkah apa yang aku katakan itu Jan?”aku kembali melontarkan pertanyaan padanya.

“Kamu tak harus menjawab. Justru dengan kamu menjawab aku akan semakin tahu bahwa kamu hanya seorang pembohong” lanjutku menghentikan dia memikirkan kebohongan selanjutnya yang hendak dia ucapkan.

“Semuanya terlalu cepat” ujar Januar kemudian. Wajahnya mulai membeku.

“Tidak. Bagiku semua sudah seharusnya terjadi saat ini. Banyak yang ingin aku kejar Jan. Kalau aku membiarkan diriku hidup dengan kepura-puraan ini terus, aku akan mati di sini dengan penyesalan. Waktuku tak banyak Jan. ia terus mengejarku dan menginginkan aku mencari langkah baru. Yah, mungkin buat kamu semuanya terlalu cepat, tapi kumohon hargailah waktuku” tandasku tegas. Januar kemudian mendekatiku.

“Kalau kamu memang ingin pergi, pergilah. Aku ingin kamu bahagia” ujarnya sambil membelai kepalaku.

“Kamu bohong Jan. Di dunia ini aku tak pernah menemui seorang pembohong sepertimu. Sungguh, walau aku tak menyesal pernah mencintaimu, aku tetap menyayangkan mengapa kamu tidak bisa menjadi seorang laki-laki sejati Jan” kuucapkan kata-kata itu sambil menepis tangannya. Air mata pun tak terbendung lagi.

Langit semakin mendung. Kubiarkan langkahku menepi di tepi jalan sunyi. Januar semakin jauh. Wajahnya semakin tak nampak dari pandanganku. Januar pergi. Aku yang meninggalkannya, tapi dia yang mencampakkan aku pertama kali. Dia pula yang mematahkan hatiku dalam kelukaan yang dalam. Januar adalah masa lalu pahit dan kelam. Kuharap seumur hidupku, aku tak akan lagi dipertemukan dengan seseorang seperti Januar.

JAKARTA DALAM WAJAH TAWA DAN GAIRAH

Udara sejuk mengantarku pada lelap yang panjang. Aku baru terbangun ketika kudengar suara adzan subuh memanggil. Kuraih ponselku, mencari satu entri nama yang sejak beberapa lama ini paling sering kuhubungi.

“Tuh kan, masih malas-malasan deh” ujarku menjawab suara malasnya yang bercampur kantuk.

“Kan masih pagi banget Neng!” bantahnya mencari alasan.

“Semalam kan aku tidur malam” lanjutnya mencari alas an lagi.

“Bangun dulu, nanti tidurnya dilanjutin ya, Sayang!” ucapku memaksa. Dia hanya tertawa mendengar ucapanku.

“Sejak kapan sih kamu jadi romantis gini?”tanyanya heran.

“Sejak hari ini. Aku mau bersikap romantis sama kamu. Kamu gak mau kan kalau aku bikin kekacauan dengan bersikap aneh lagi” bantahku. Dia hanya tertawa lagi.

Dialah awal baru yang cerah. Dia bukan Januar, dan sungguh merupakan sosok lelaki yang sangat bertolak belakang dengan seorang Januar. Lama kukenal dia, mungkin hitungan lima tahun. Namun, baru beberapa bulan ini aku menjadi begitu intens dengannya. Tepatnya sejak aku wisuda.

“Neng, ntar malam aku ke tempat kamu ya” pintanya kemudian.

“Udah sana, kamu salat dulu. Kalau udah salat nanti kita lanjutin ngobrolnya” tandasku menghentikan. Selanjutnya dia hanya menurut dengan ucapanku.

Kubiarkan waktu berjalan sekehendaknya. Menemukan sosok dia dalam hidupku merupakan sebuah anugerah. Meski dia bukan sosok romantis, aku bahagia ada di sisinya. Membagi sebuah dunia dan membangun kehidupan sempurna yang kami impikan.

Hanya berselang lima belas menit dari telpon sebelumnya. Dia pasti sudah selesai salat, pikirku.

“Iya, kamu ke sini aja. Tapi inget, jangan terlalu malam ya!”pintaku tanpa basa-basi.

“Ya gak malam lah Neng, aku kan mau ngajak kamu nonton”ujarnya merespons.

“Kok gak minta persetujuanku dulu sih?”tanyaku berpura-pura kesal.

“Kan yakin kalau kamu gak akan nolak” jawabnya penuh percaya diri. Aku cuma tertawa mendengar ucapannya.

“Tuh kan, masih aja ke PD-an” ledekku. Dia balas tertawa

“Neng, ini kan hari sabtu. Kita pergi siang aja ya!” ajaknya lagi. Aku baru ingat kalau hari ini adalah hari libur, pantas saja dia bermalas-malasan.

“heeh” jawabku singkat.

“Dah, Sayang, sampai ketemu nanti siang” ujarnya kemudian diikuti suara telepon dimatikan.

Ada yang kumengerti setelah semuanya terjadi. Dulu, aku mati-matian mencintai Januar, tapi dia tak bisa balas mencintaiku. Namun, untuk selanjutnya, aku menemukan seseorang yang kurasa begitu mencintaiku, meski awalnya aku sama sekali tak berpikir akan bersamanya.

Inilah hidup…, dan aku merasa bersyukur karena pernah dipertemukan dengan seorang Januar, sehingga aku dapat menyadari dan menikmati cinta yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Seandainya Januar tak pernah menghancurkan hati dan perasaanku, aku pasti tak akan pernah bisa menghargai cinta yang kuterima dari dia sekarang ini!

JAKARTA, MENDUNG KEDUA YANG MELUKA

“Maksud kamu apa, Kak?” tanyaku bingung dengan ketiba-tibaannya membuat sebuah keputusan yang tak kuduga. Ini tahun kedua kami bersama. Semua kurasa baik-baik saja. Tapi entah kenapa di senja yang indah ini ia datang dengan sebuah berita yang membuat nyawaku hampIr lepas dari raga karena saking mengejutkannya.

“Kakak minta maaf, Neng. Bunda tiba-tiba mengingini Kakak mengakhiri hubungan kita ini.”

“Tapi kenapa Kak?” tanyaku dengan suara yang sudah tak lagi bertenaga.

“Neng, Bunda ingin kakak menikah dengan seseorang yang dipilihkannya.” jawabnya tersendat-sendat. Aku tak tahu bagaimana rasanya kala kudengar itu. Langit terasa gelap. Hampir jatuh menimpaku. Entahlah, aku mati rasa. Habis kata-kata. Tak tahu harus membela diri atau harus menyerah saja.

“Neng…, maafin Kaka. Kaka tahu ini menyakitkan untuk kamu. Tapi ini keinginan Bunda. Kakak tak berdaya.”

Kalimatku habis. Waktu Kakak menggenggam tanganku, aku benar-benar tak berbuat apa-apa. Kuhapus tiap butir air mata yang jatuh menderas. Pelan-pelan kutarik napas dalam. Tak ada penghabisan kata yang ingin kulontarkan. Cukup sudah, ini keterlaluan. Dia tak menginginkanku, sebab itu dia tak mempertahankanku.

Semua tampak kelam. Tak ada hujan badai. Tapi aku kuyup dan menggigil kedinginan. Langit jingga itu berubah jadi hitam. Kurasa, waktu sudah terlalu larut. Aku lemas, sesak tak bisa bernapas. Kakak mencampakkanku. Dia meninggalkanku dan melepaskanku begitu saja. Aku terluka. Aku ingin mati saja rasanya.

“Tuhan, benarkah cinta dan setia itu benar-benar ada?”

 

JAKARTA DALAM DUA WARNA YANG SENADA

Hidup tanpa cinta bukanlah hal yang luar biasa. Meski kadang terasa sepi tak terkira. Namun kadang di sisi lainnya ada sebuah bahagia yang berbeda. Tanpa Kakak, duniaku baik-baik saja. Aku pun tetap harus bangkit berdiri di atas ketegaranku sebagai seorang wanita. Tiga bulan sudah. Tidak apa-apa. Semua masih bisa berjalan dengan seharusnya.

“Kriiiiing…”

“Ya…halo….”

“Ini Januar Li. Apa kabar?” Dug. Dadaku berdegup kencang saat kudengar suara itu lagi. Januar. Nama itu lagi. Nama yang hilang bertahun-tahun dari kepalaku dan malam ini tiada angin, tiada topan tiba-tiba muncul kembali.

“Halo, Li….” panggilnya mengejutkanku yang terkejut sampai tak bisa berkata-kata.

“Oh…Hay Jan. Apa kabar? Kabarku baik…” jawabku dibuat tenang, tapi tetap tak bisa menyembunyikan kegugupan dengan kalimat yang kusadari berantakan.

“Aku mengejutkan kamu ya?” terka Januar. Dia langsung menembak tepat sasaran.

“Yup…begitulah…” aku mulai lebih rileks setelah Januar menuntunku dalam situasi yang lebih santai.

“Maaf ya, Li atas ketiba-tibaan ini” lanjutnya dengan sangat terbuka.

“Oh. It’s ok” jawabku simple.

“Li, aku baru kembali ke Jakarta dua hari lalu.” Jelasnya. Aku hanya mengernyitkan dahi. Aku tidak mengerti maksud kalimatnya. Aku bahkan tidak tahu bahwa dia keluar Jakarta atau entah ke mana.

“Aku…pindah ke Lampung dua tahun lalu. Kerja di sana beberapa lama dan tahun ini, tepatnya bulan ini aku ditugaskan kembali di Jakarta” ungkapnya panjang lebar. Aku masih belum mengerti. Dia bekerja apa aku tak tahu. Sebab seingatku, waktu kami berpisah dulu, dia baru saja menyelesaikan kuliahnya. Aku jadi bingung harus menanggapi bagaimana.

“Aku tahu Li. Kamu terkejut kan dengan ceritaku ini? Cerita yang sebenarnya ga penting untuk kamu. Iya kan?” respons Januar sedikit mengejutkanku. Aku sedikit kaget dengan caranya bersikap. Dia jauh berbeda dengan Januar yang kukenal beberapa tahun lalu. Januar yang tanpa ekspresi. Januar yang membuatku gemas dengan ketidaktegasannya. Akh….aku benar-benar dibuat kaget dengan semua ketiba-tibaan dan perubahan dirinya ini.

“Li, aku ga mau basa-basi. Aku kembali ke Jakarta. Dan orang pertama yang ingin kutemui adalah kamu. Orang pertama yang kuingat di kota ini adalah kamu. Aku bahkan belum pulang ke rumah Li.” Lanjutnya panjang lebar, sementara aku masih kebingungan.

“Li…kamu dengerin aku kan?” tanyanya menunggu responsku yang sedari tadi tak bersuara.

“Hmmmm…..ini…mengejutkan…hehehehe”

“Iya aku tahu. Kamu pasti terkejut. Tapi…aku ga peduli. Aku harus lakuin ini.” Katanya kemudian.

“Lakuin apa?” tanyaku dibuat bingung lagi olehnya.

“Aku harus bicara dan ketemu sama kamu. Aku harus membicarakan masa depan kita.”

“Kita? Maksudnya?”

“Li…aku masih mencintai kamu. Aku masih Januar yang di hatinya cuma ada kamu. Sama seperti beberapa tahun lalu.”

Aku diam. Diam sediam-diamnya.

“Aku memberanikan diri Li. Ini juga ga mudah buatku. Aku…Aku coba ga peduli kalau kamu nolak aku. Kalau kamu bilang tak lagi mencintaiku karena ada orang lain di hati kamu…Aku ga peduli, Li.” Januar menarik napas panjang setelah melontarkan kalimat panjang itu.  Aku masih diam. Beberapa lama. Semua hening.

“Li, bisakah kamu menerima aku lagi?” tandas Januar memecah kesunyian kali ini.

“Aku tahu, aku pernah menyakiti kamu, Li. Kamu juga berhak membenci aku, tapi aku akan tetap mencintai kamu. Terus Li, sampai kamu memaafkan dan mau menerima aku kembali.” Setelah itu Januar diam lagi.

“Jan…aku…kaget” ucapku kemudian.

“Iya, aku tahu”

“Dan aku minta maaf….” Aku terhenti, tak melanjutkan kalimatku. Januar menunggu kelanjutan kalimatku. Tak kubayangkan bagaimana gugupnya dia menunggu kelanjutan kalimatku. Yang jelas kudengar suara napasnya di telingaku.

“Aku…baru patah hati” ucapku tak jelas.

“Jadi….?” Tanya Januar tak mengerti.

“Aku ga bisa menjawab apa pun.” lanjutku, lalu diam lagi.

“Li…aku akan menunggu.” Jawab Januar di luar dugaanku.

“Aku akan menunggu sampai kamu mau membuka hatimu, Li. Aku janji akan menunggu sampai kapan pun. Aku benar-benar mencintaimu, Li. Sungguh-sungguh.”

Kalimat Januar sama sekali tak membuat aku melayang. Aku tak bisa merasakan apa-apa. Aku tak tahu harus bilang apa. Aku mati rasa, mungkin. Atau aku terlalu terkejut dengan ketiba-tibaannya. Aku bahkan lupa wajah Januar seperti apa. Aku lupa. Dan aku sedang mencoba emngingatnya lagi.

“Aku menunggu, Li. Kita akan bicarakan ini lebih lanjut ketika kamu siap.” Januar memecah keterdiamanku kemudian.

“Sudah malam. Kututup dulu ya Li. Sudah waktunya kamu tidur. Aku ingat dulu, kamu selalu tidur lebih awal di hari libur, karena kamu ingin di hari libur tetap bisa bangun lebih pagi. Semoga itu belum berubah.” Ujarnya diikuti tawa kecil yang renyah.

“Selamat malam, Liliaku yang cantik. You know how much I miss u. Selamat malam. Assalamualaikum.”  Kalimat penutup Januar membuat ingatanku melayang pada masa beberapa tahun lalu. Aku masih mematung seperti orang kesetrum sampai kaku tak bisa bergerak.

Tiba-tiba di kepalaku muncul wajah Januar. Satu, dua, dan bertambah sehingga jumlahnya tak terhitung lagi. Aku ingat wajahnya. Ingat senyumnya. Ingat semua kalimat-kalimatnya.

I miss u too,  Jan.” Tiba-tiba kata itu yang terlontar dari gumamanku.

Aku tak tahu ini jam berapa. Yang kuingat ini seperti pagi hari ketika aku berdiri di teras lantai dua rumahku sambil memandang arah matahari terbit. Iya, ini jam enam pagi. Seperti itulah rasanya.

Leave a comment