Sepupu Sahabat

Lega rasanya…

Pertemuan di akhir Oktober ini menggugah rasa bahagia di hatiku. Tak ada yang berubah. Semua masih sama. Rika masih orang yang sama yang pernah menjadi sahabatku beberapa tahun lalu. Tak tahu berapa besar rasa bahagia ini, namun aku merasa telah menemukan kembali cahaya yang hilang dalam hidupku sejak kepergiannya.

“kamu ke mana aja sih Kei?” tanyanya hangat sehangat sinar fajar yang menerpa wajahku pagi tadi.

“Bukan sebaliknya Ka, kamu yang ke mana aja” ucapku tak mau kalah. Kami hanya melemparkan senyum bersamaan.

“Ka, aku dah liat foto mantan kamu di FS” lanjutku mengejek. Dia memandangku  heran.

“Kok dia yang dibahas sih? Bukannya pacarku yang sekarang?” tanyanya kemudian. Aku cuma geleng-geleng kepala.

“Kenapa?” lanjutnya bertanya penasaran.

“Abis kayaknya sih bagusan pacar kamu yang dulu” ledekku lagi. Dia Cuma tertawa.

“Kamu sendiri gimana?” tanyanya kemudian mengalihkan pembahasan.

“Aku? Ya baik-baik aja” jawabku enteng.

“Gak usah pura-pura gak ngerti maksud Aku dong Kei” ucapnya sambil melemparkan sorot mata geram. Aku hanya melemparkan tawa kecil melihat reaksinya.

“Ya, sebenernya sih aku juga lagi jatuh cinta. Tapi….” Aku tak melanjutkan kata-kataku. Aku lalu diam. Rika menunggu kata-kata selanjutnya, namun aku cukup lama diam dan dia menjadi penasaran.

“Tapi  apa Kei?”

Kutarik napas dalam. Mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan semua.

“Tapi, ada seorang gadis yang suka banget ama dia” ucapku kemudian setelah cukup lama menahan kata-kata itu.

“Trus urusannya sama kamu apa? Emangnya lelaki itu suka juga sama gadis itu?”  Aku hanya menggeleng mendengar pertanyaan Rika.

“Ini gelengan gak tahu atau enggak?” tanyanya lagi.

“Dia gak suka sama gadis itu, tapi gadis itu sayang banget ama dia” paparku menjelaskan.

“Kamu punya hubungan apa sama gadis itu? Apa harus  kamu ngalah kayak gitu?”

“Ya gak juga sih, tapi kan aku kasihan sama dia” jawabku sedih. Rika menatapku bingung.

“Lho, trus  kamu biarkan cinta kamu itu padam karena gadis itu, lalu kamu sakit hati, dan nangisin kebodohan kamu sendiri?” cerocos Rika  tak berhenti kalau tak kubungkam mulutnya dengan tanganku.

“Bukan gitu Ka. Aku suka sama lelaki itu, dia juga gitu. Tapi Ka, apa kamu pikir aku bisa hidup di atas tangisan gadis lain yang patah hati karena cinta kami?”

Rika diam. Dia melemparkan senyuman penuh kebingungan padaku.

“Kei, cinta itu anugerah. Kamu berhak mendapatkan apa yang kamu impikan. Kamu gak mesti ngalah untuk orang lain. Apalagi lelaki itu juga suka sama kamu” tegas Rika. Aku membalikan pandanganku ke arah jalan raya.

“Trus aku harus gimana dong?” tanyaku bingung.

“Tuh kan, manjanya kumat” ucap Rika sambil membelai kepalaku.

Rika adalah kaka. Rika adalah sahabat. Dia juga selalu menjadi bagian penting pengambil keputusan dalam hidupku. Kupikir apa yang dikatakannya benar. Aku tak harus mengalah hanya untuk seseorang yang sama sekali tak aku kenal.

“Tapi Ka, kalau gadis itu benci aku gimana?”

“Pentingnya buat kamu?”

“Ya penting dong Ka. Aku gak mau siapa pun membenci aku. Aku juga gak suka menyakiti sesamaku” rengekku sedih.

“Kei, kamu suka dia?” Tanya Rika halus. Kulihat tatapan ragu di matanya.  Aku cuma mengangguk mencoba meyakinkannya.

“Kamu yakin dia juga suka kamu?” tanyanya lagi. Aku kembali mengangguk.

“Kamu yakin sama dia?” untuk ketiga kalinya aku mengangguk. Rika lalu tersenyum

“Kei, ikuti kata hati kamu. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Keyakinan kamu itu adalah kebahagiaan kamu Kei. Jangan mengalah. Ingat jangan mengalah pada siapa pun” Rika berucap dengan sangat bijaksana. Aku merasa kagum. Rasanya baru bebrapa tahun saja aku tak bertemu dengannya, tapi dia jauh lebih dewasa dan lebih bijaksana. Karena kagumnya aku jadi memandangnya dengan terkesima.

“Malah bengong” ucapnya geram sambil mengusap wajahku. Aku pun lalu tersadar.

“Makasih ya Ka, gak sia-sia aku ketemu kamu” tandasku bahagia.

Pertemuan singkat yang bermakna. Itu mungkin pantas untuk menamai pertemuanku dengan Rika kali ini. Dia selalu berhasil menumbuhkan semangat dalam diriku. Tak sia-sia aku bersahabat dengannya kalau begini.

“Aku janji Ka, aku akan ikuti nasihat kamu” gumamku dalam hati.

 

Dingin di musim penghujan. Pertengahan November ini aku mulai menata hidup baru. Kata-kata Rika aku turuti. Aku berusaha mengikuti kata hatiku. Aku mengikatkan diri dengan lelaki itu. Benar yang dikatakan Rika, aku akan menemukan kebahagiaan dalam keyakinan hatiku. Selayaknya bunga-bunga yang mekar di musim hujan ini, aku pun merasakan cintaku berbunga begitu indahnya.

“Kei, aku di Jakarta” ucap Rika di suatu siang menghubungiku lewat telpon.

“Di mana Ka?” tanyaku senang sekaligus menjadi khawatir mendengar nada bicaranya yang tergesa-gesa.

“Kei, kampus kamu daerah mana sih?” tanyanya tak menjawab pertanyaanku.

“Rawamangun. Emangnya kamu mau ke sini?” Aku makin penasaran.

“Iya aku mau nengok sepupuku. Aku lupa bilang sama kamu kalau sepupuku juga kuliah di kampus yang sama dengan kamu” jelasnya. Aku terkejut. Antara senang dan penasaran akhirnya aku memberanikan diri bertanya.

“Emang kenapa dia?”

“Dia sakit Kei” jawab Rika singkat. Aku menjadi prihatin

“Ya udah Kei, ceritanya nanti aja ya. Kamu bisa tolong jemput aku gak di depan?” pintanya. Aku hanya mengiyakan.

“Ka, emangnya sepupu kamu sakit apa?” tanyaku setibanya Rika di kampusku.

“Entahlah. Dia nelpon aku dan minta aku datang. Kayaknya sih berat, tapi dia gak mau kasih tahu orang tuanya” jelas Rika. Aku hanya mendengarkan.

“Kei, aku boleh minta tolong gak?” pinta Rika sambil memegang tanganku. Aku hanya menganggukkan kepalaku.

“Aku minta kamu jaga dia ya kalau aku udah pulang. Dia sepertinya butuh seseorang di sisinya. Maunya sih aku yang nemenin dia, tapi  aku juga sibuk”

“Iya Ka, kamu jangan panik gitu dong. Aku mau kok jaga dia. Kamu juga sih kenapa gak cerita kalau punya sepupu di sini. Tahu begitu aku kan bisa nemuin dia dan temenan sama dia” tandasku. Rika hanya melemparkan senyuman padaku.

 

Aku dan Rika sampai di rumah kost sepupu Rika. Kami mengetuk pintu. Tak begitu lama seorang gadis muncul dari balik pintu dan menghampiri kami. Jarakku agak jauh sehingga gadis itu tak melihatku, tapi aku melihatnya dengan jelas. Jantungku serasa berhenti berdetak seketika

“Anita?” tanyaku tak percaya melihat apa yang aku saksikan. Anita memeluk Rika erat dengan  sangat akrab. Dia lalu menoleh ke arahku. Seketika matanya dipenuhi kemarahan dan kebencian yang dalam. Dia memandangku tajam penuh kesinisan.

“Kakak, siapa dia?” Tanya Anita pura-pura tak kenal. Namun, kulihat sorot tajam kebencian dari matanya menusukku. Aku hanya mampu menunduk.

“Ini sahabat kakak Nit. Dia satu kampus sama kamu. Kakak pernah cerita kan sama kamu?”

“Sini” ajak Rika padaku sambil menarik lenganku.

“Nit ini Keiko, dan Kei, ini Anita” Rika memperkenalkan kami. Gemetar kuulurkan tanganku pada Nita. Dia pun mengulurkan tangannya ragu. Kurasakan aliran kemarahan yang disembunyikan oleh Nita mengalir dari tatapannya padaku.

“Sayang, Kakak mengerti perasaan kamu. Tapi jangan siksa diri kamu begini dong” ucap Rika halus sambil membelai Nita. Aku hanya diam, sepertinya Rika pun tak tahu apa-apa tentang aku dan Nita. Dia membiarkan aku terdiam dan duduk tenang seolah tak perlu tahu masalah yang dihadapi Nita.

“Dengar sayang. Kekuatan cinta kamu pasti menang. Ingatlah, kamu akan dapatkan dia kalau kamu berusaha. Jangan menyerah Nit. Kakak yakin kamu akan menang suatu hari nanti” samar kudengar kata-kata Rika pada Nita. Nita menangis. Dipeluknya Rika erat. Kulihat tubuhnya semakin kurus dibandingkan pertemuanku tiga minggu lalu dengannya saat aku menemani pacarku memberitahu dia tentang hubungan kami.

“Kei, kemari” panggil Rika padaku. Aku melangkah mendekati mereka dengan tangis tertahan karena merasa bersalah pada Nita.

“Nit, kalau ada apa-apa kamu temui kak Keiko aja ya. Kamu pasti bisa berbagi sama dia. Dia itu sahabat terbaik kakak sejak dulu. Dia pengertian dan sangat baik hati” puji Rika di hadapan Nita. Nita menyunggingkan senyum getir padaku. Aku merasakan tatapan Nita seolah menusukku dengan kemarahannya.

Tak ada kata. Nita tak bercerita pada Rika tentang aku. Mungkin dia tak enak menceritakan semuanya. Sementara aku, aku tak bisa berpikir jernih saat ini. Rika berjalan santai di sampingku, sementara kepalaku berputar memikirkan rasa bersalahku.

“Kasihan Nita. Dia gadis yang baik, kenapa bisa menjadi begitu hanya karena kecewa?” gumam Rika halus. Aku mampu mendengar gumaman itu dengan jelas.

“Sungguh, tak berperasaan sekali lelaki itu. Aku jadi pengen ketemu dia dan…”

Mendengar kata-kata Rika aku jadi makin bimbang. Aku bingung apakah aku harus menceritakan semua pada Rika atau tidak.

“Kei, mau menemani aku menemui lelaki itu?” Tanya Rika lagi. Aku makin gemetar saja.

“Hey, kok diem sih?” Rika mengguncang bahuku.

“Kamu denger gak sih Kei?” lanjutnya.

“Iya” jawabku gugup. Rika menatapku heran. Dia seolah merasakan kegugupanku.

“Kei, ada apa sih?” Rika kembali mengajukan pertanyaan padaku. Dia tampak sangat penasaran.

“Ka, aku boleh tanya sesuatu gak?” tanyaku ragu. Rika menatapku sambil melemparkan senyuman heran.

“Kamu lebih sayang aku atau sepupu kamu?” lanjutku masih dalam keragu-raguan yang sama.

“Ya, aku sayang kalian berdua. Emangnya kenapa sih kamu tanya itu?” Rika balik bertanya.

“Kalau kamu harus memilih, siapa yang akan kamu pilih?” Aku melemparkan pertanyaan selanjutnya. Rika tak menjawab. Dia kebingungan

“Udah ah, gak penting” tandas Rika cuek.

“Ka, …” pintaku serius.

“Gak bisa Kei. Aku sayang kalian berdua. Lagian, kenapa sih kamu pengen banget aku jawab itu?”

“Karena aku pengen tahu Ka” jawabku.

“Eh ya, gimana kabar pacar kamu? Trus gadis itu udah tersingkir kan?” tanya Rika mengalihkan topik bahasan. Aku tak menjawab.

“Kei ayo dong jawab.” pinta Rika memaksa”

Mendung di langit sore ini mulai tampak. Meski titik hujan belum turun, dingin sudah mulai menyusup pelan menusuki sendiku.  Kulirik Rika di sampingku. Gejolak batinku berlomba mencari jalan keluar dari masalah ini.

Tiba-tiba aku tak tahu harus berbuat apa. Tangisku mulai pecah dan air mata tak bisa lagi kutahan. Rika tampak terkejut melihatku.

“Kei, kamu kenapa?” tanyanya panik. Ditatapnya aku lekat.

“Aku mau putus” teriakku penuh emosi. Rika menatapku semakin heran. Dia tak bertanya apa pun. Dia hanya menunggu kata selanjutnya yang akan aku ucapkan.

“Aku yang salah. Aku yang buat Nita kamu sakit” ujarku terbata. Rika hanya mengernyitkan dahinya.

“Aku yang mengambil cinta Nita Ka. Aku yang ngalahin Nita dan membuatnya seperti itu” lanjutku. Rika mematung dalam keterdiamannya.     “Ka, aku gak tahu kalau Nita itu sepupu kamu. Kalau aku tahu, aku pasti ngalah. Demi Tuhan, aku menyesal melakukan ini” kataku di tengah tangis.

Rika bergeming. Dia hanya terlihat menarik napas dalam beberapa kali. Kulihat dia pun menitikan air mata.

“Kei,…” panggilnya halus.

“ Apa yang akan kamu lakukan?” tanyanya kemudian.

“Aku akan mengakhiri semua Ka. Aku gak mau nyakitin Nita lebih jauh. Kamu bilang pada dia tadi kalau suatu hari dia akan menang. Dia menang Ka. Aku mengalah” ucapku gemetar.

“Jangan Kei. Biarkan saja. Nita akan sembuh dengan sendirinya. Dia hanya perlu waktu” bujuk Rika halus.

“Enggak Ka. Aku akan minta maaf sama dia. Aku mau berteman dengan Nita. Aku harap Nita akan memaafkan dan menerima aku sebagai temannya. Kamu bilang dia butuh teman. Aku mau Ka gantikan kamu kalau kamu gak di sini”

 

Rika memandangku tajam. Kurasakan duka di matanya.

“Kei, maafkan aku ya” ucapnya kemudian. Dipeluknya aku erat.

“Kamu gak salah. Kamu hanya memberi aku nasihat. Kamu Cuma ingin aku dan Nita memperoleh yang terbaik dalam hidup kami. Aku tahu Ka kamu sayang sama kami, jadi kamu nasihati kami”

“Apa kamu rela melakukan itu?” Tanya Rika lagi. Aku hanya mengangguk

Rika melemparkan senyuman padaku. Dibelainya kepalaku. Aku sakit, Nita sakit, dan aku yakin Rika jauh lebih sakit karena kesakitan yang dirasakan oleh kami berdua. Kutatap Rika. Semua seperti mimpi saja rasanya. Aku jadi berpikir lagi bahwa aku sebaiknya berusaha unuk memikirkan perasaan gadis lain yang mungkin tersakiti karena cintaku. Ya, siapa pun gadis itu, walau mungkin dia bukan sepupu dari sahabat yang paling aku sayangi di dunia ini.

 

 

Jakarta, November 2006

@annamarlien

Leave a comment