BINTANG DAN LELAKI YANG TAK PERNAH MENEMANIKU BERPUISI

YANG FANA ADALAH WAKTU

Yang fana adalah waktu. Kita abadi :
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
Sampai pada suatu hari
Kita lupa untuk apa.
“Tapi,
Yang fana adalah waktu, bukan?”
Tanyamu. Kita abadi.

Sapardi Djoko Damono (1978)

 

Kepada: Sandyakala waktu, kau berlalu, dan aku abadi dalam kenanganmu

 

“San, kelak, apakah ada yang akan berubah dari kita berdua?”

“Pasti ada, tapi semoga diantara semua perubahan itu, kita akan selamanya dengan hati yang sama, kuharap.”

“Aku juga berharap yang sama.” bisikku dalam hati.

 

Aku tidak mencintaimu lagi, San. Tidak sama seperti sepuluh tahun lalu ketika kau berjanji akan terus mengasihiku dan menyetiaiku. Aku tidak mencintaimu lagi, San, sebagai kekasih, sebab persahabatan kita terlalu indah untuk kita khianati. Aku sudah berusaha untuk mencintaimu, San. Kau pun sudah berusaha sekuat tenagamu. Aku tak mungkin tanpamu, kau pun tak akan bisa hidup tanpaku. Tapi, cinta kita salah. Ini bukan cinta sepasang kekasih seperti yang kita pikirkan akhir SMA lalu. Ini cinta, San, tapi jauh lebih dari itu, aku menyayangimu dengan kasih tulus sebagai sahabatmu. Dan kita menghancurkannya bersama dengan keegoisan kita. Kau dan aku, San. Kita terlalu naïf membiarkan hati kita dikuasai cinta. Aku tak bisa hidup tanpamu, San. Kau pun, aku tahu itu. Dan kini tak ada yang tersisa selain kepura-puraan kita bahwa segalanya baik-baik saja. Tapi kenyataannya tidak. Sebab aku hancur, begitu juga kamu.

 

Lelaki ini kunamai lelaki bintang. Nama lahirnya adalah Sandy. Dia sahabatku, sahabat baikku. Lelaki ini inspirasi paling alami yang terus hidup di antara kematianku. Dia hidup yang menghidupiku berkali-kali. Bila aku bisa memberi separuh kebahagiaanku padanya, maka akan kuberikan. Bahkan bila ia meminta semuanya, aku akan dengan sukarela menyerahkannya. Sebab ia kekasihku,lebih dari semua yang kukasihi setelahnya.

“An, apa kamu tahu apa yang ada dalam pikiranku selama ini?”

“Apa?”

“Hmmm….” Hening sejenak. Aku masih sibuk dengan coretan-coretan kecil di kertasku, lalu mendaratkan cubitan kecil di pipinya.

“Lupain ajalah.”

Aku hanya mengernyitkan dahi sambil terus melanjutkan coretan-coretanku di kertas yang sudah hampir penuh.

“Gambar apa sih?” tanyanya sambil menyambar kertas di tanganku. Tak lama didekapnya leherku sambil dicubitinya pipi chabiku.

“Ampun…ampun” teriakku memohon. Dia makin menjadi.

 

“Aku merelakanmu kali ini, An. Pergilah. Jalanilah hidupmu. Tapi berjanjilah. Kelak kau dan aku akan bertemu lagi. Di suatu waktu ketika kita telah memiliki semua yang kita impikan. Kau dan aku, An. Kita akan bertemu lagi dengan hati yang tetap seperti ini.”

“Kau merelakan aku pergi? Kenapa?”

“Sebab aku tahu, kemana pun kau pergi dan sejauh apa pun kau pergi, akulah tempatmu kelak untuk kembali.”

 

Aku mencintaimu, An. Seandainya aku bisa mencintaimu selamanya, aku akan An. Kaulah kekuatanku, tapi aku tak bisa bergantung pada keberadaanmu. Aku menginginkan kebebasanku sendiri, An. Aku tak bisa menemukan diriku jika kau di sini. Sebab kau menutupi segala yang kurang dari diriku. Aku menemukanmu di setiap ketidaksempurnaanku. Aku ingin menjadi lelaki, An. Menjadi yang pantas bagimu. Menjadi seseorang yang berdiri dengan kakinya sendiri tanpa penopangnya. Tanpamu, An. Maka pergilah sementara. Aku akan menemukanmu kembali dalam kesendirian, An. Kelak, kita akan bersama lagi.

Dan kini. Sepuluh tahun kemudian Sandy tak pernah kembali. Ia menemukan hidupnya sendiri. Memilih tak memasukkanku dalam catatan masa depannya. Ia meninggalkanku bersama kenangan, sebab tak sanggup mengingat indahnya masa lalu kami. Sandy pergi. Bukan mati. Ia tetap di hati. Abadi. Bukan bersama hati yang mencintai, tapi jiwa yang mengasihi.

“Pergilah, San. Kali ini, aku merelakanmu untuk menemukan mimpi. Kita abadi, dalam dekap hati yang tak akan mati. Sekalipun kau dan aku memilih menguntai masa depan sendiri-sendiri.”

 

Jakarta, Januari 2013

Leave a comment