BINTANG DAN LELAKI YANG TAK PERNAH MENEMANIKU BERPUISI

YANG FANA ADALAH WAKTU

Yang fana adalah waktu. Kita abadi :
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
Sampai pada suatu hari
Kita lupa untuk apa.
“Tapi,
Yang fana adalah waktu, bukan?”
Tanyamu. Kita abadi.

Sapardi Djoko Damono (1978)

 

Kepada: Sandyakala waktu, kau berlalu, dan aku abadi dalam kenanganmu

 

“San, kelak, apakah ada yang akan berubah dari kita berdua?”

“Pasti ada, tapi semoga diantara semua perubahan itu, kita akan selamanya dengan hati yang sama, kuharap.”

“Aku juga berharap yang sama.” bisikku dalam hati.

 

Aku tidak mencintaimu lagi, San. Tidak sama seperti sepuluh tahun lalu ketika kau berjanji akan terus mengasihiku dan menyetiaiku. Aku tidak mencintaimu lagi, San, sebagai kekasih, sebab persahabatan kita terlalu indah untuk kita khianati. Aku sudah berusaha untuk mencintaimu, San. Kau pun sudah berusaha sekuat tenagamu. Aku tak mungkin tanpamu, kau pun tak akan bisa hidup tanpaku. Tapi, cinta kita salah. Ini bukan cinta sepasang kekasih seperti yang kita pikirkan akhir SMA lalu. Ini cinta, San, tapi jauh lebih dari itu, aku menyayangimu dengan kasih tulus sebagai sahabatmu. Dan kita menghancurkannya bersama dengan keegoisan kita. Kau dan aku, San. Kita terlalu naïf membiarkan hati kita dikuasai cinta. Aku tak bisa hidup tanpamu, San. Kau pun, aku tahu itu. Dan kini tak ada yang tersisa selain kepura-puraan kita bahwa segalanya baik-baik saja. Tapi kenyataannya tidak. Sebab aku hancur, begitu juga kamu.

 

Lelaki ini kunamai lelaki bintang. Nama lahirnya adalah Sandy. Dia sahabatku, sahabat baikku. Lelaki ini inspirasi paling alami yang terus hidup di antara kematianku. Dia hidup yang menghidupiku berkali-kali. Bila aku bisa memberi separuh kebahagiaanku padanya, maka akan kuberikan. Bahkan bila ia meminta semuanya, aku akan dengan sukarela menyerahkannya. Sebab ia kekasihku,lebih dari semua yang kukasihi setelahnya.

“An, apa kamu tahu apa yang ada dalam pikiranku selama ini?”

“Apa?”

“Hmmm….” Hening sejenak. Aku masih sibuk dengan coretan-coretan kecil di kertasku, lalu mendaratkan cubitan kecil di pipinya.

“Lupain ajalah.”

Aku hanya mengernyitkan dahi sambil terus melanjutkan coretan-coretanku di kertas yang sudah hampir penuh.

“Gambar apa sih?” tanyanya sambil menyambar kertas di tanganku. Tak lama didekapnya leherku sambil dicubitinya pipi chabiku.

“Ampun…ampun” teriakku memohon. Dia makin menjadi.

 

“Aku merelakanmu kali ini, An. Pergilah. Jalanilah hidupmu. Tapi berjanjilah. Kelak kau dan aku akan bertemu lagi. Di suatu waktu ketika kita telah memiliki semua yang kita impikan. Kau dan aku, An. Kita akan bertemu lagi dengan hati yang tetap seperti ini.”

“Kau merelakan aku pergi? Kenapa?”

“Sebab aku tahu, kemana pun kau pergi dan sejauh apa pun kau pergi, akulah tempatmu kelak untuk kembali.”

 

Aku mencintaimu, An. Seandainya aku bisa mencintaimu selamanya, aku akan An. Kaulah kekuatanku, tapi aku tak bisa bergantung pada keberadaanmu. Aku menginginkan kebebasanku sendiri, An. Aku tak bisa menemukan diriku jika kau di sini. Sebab kau menutupi segala yang kurang dari diriku. Aku menemukanmu di setiap ketidaksempurnaanku. Aku ingin menjadi lelaki, An. Menjadi yang pantas bagimu. Menjadi seseorang yang berdiri dengan kakinya sendiri tanpa penopangnya. Tanpamu, An. Maka pergilah sementara. Aku akan menemukanmu kembali dalam kesendirian, An. Kelak, kita akan bersama lagi.

Dan kini. Sepuluh tahun kemudian Sandy tak pernah kembali. Ia menemukan hidupnya sendiri. Memilih tak memasukkanku dalam catatan masa depannya. Ia meninggalkanku bersama kenangan, sebab tak sanggup mengingat indahnya masa lalu kami. Sandy pergi. Bukan mati. Ia tetap di hati. Abadi. Bukan bersama hati yang mencintai, tapi jiwa yang mengasihi.

“Pergilah, San. Kali ini, aku merelakanmu untuk menemukan mimpi. Kita abadi, dalam dekap hati yang tak akan mati. Sekalipun kau dan aku memilih menguntai masa depan sendiri-sendiri.”

 

Jakarta, Januari 2013

Sepupu Sahabat

Lega rasanya…

Pertemuan di akhir Oktober ini menggugah rasa bahagia di hatiku. Tak ada yang berubah. Semua masih sama. Rika masih orang yang sama yang pernah menjadi sahabatku beberapa tahun lalu. Tak tahu berapa besar rasa bahagia ini, namun aku merasa telah menemukan kembali cahaya yang hilang dalam hidupku sejak kepergiannya.

“kamu ke mana aja sih Kei?” tanyanya hangat sehangat sinar fajar yang menerpa wajahku pagi tadi.

“Bukan sebaliknya Ka, kamu yang ke mana aja” ucapku tak mau kalah. Kami hanya melemparkan senyum bersamaan.

“Ka, aku dah liat foto mantan kamu di FS” lanjutku mengejek. Dia memandangku  heran.

“Kok dia yang dibahas sih? Bukannya pacarku yang sekarang?” tanyanya kemudian. Aku cuma geleng-geleng kepala.

“Kenapa?” lanjutnya bertanya penasaran.

“Abis kayaknya sih bagusan pacar kamu yang dulu” ledekku lagi. Dia Cuma tertawa.

“Kamu sendiri gimana?” tanyanya kemudian mengalihkan pembahasan.

“Aku? Ya baik-baik aja” jawabku enteng.

“Gak usah pura-pura gak ngerti maksud Aku dong Kei” ucapnya sambil melemparkan sorot mata geram. Aku hanya melemparkan tawa kecil melihat reaksinya.

“Ya, sebenernya sih aku juga lagi jatuh cinta. Tapi….” Aku tak melanjutkan kata-kataku. Aku lalu diam. Rika menunggu kata-kata selanjutnya, namun aku cukup lama diam dan dia menjadi penasaran.

“Tapi  apa Kei?”

Kutarik napas dalam. Mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan semua.

“Tapi, ada seorang gadis yang suka banget ama dia” ucapku kemudian setelah cukup lama menahan kata-kata itu.

“Trus urusannya sama kamu apa? Emangnya lelaki itu suka juga sama gadis itu?”  Aku hanya menggeleng mendengar pertanyaan Rika.

“Ini gelengan gak tahu atau enggak?” tanyanya lagi.

“Dia gak suka sama gadis itu, tapi gadis itu sayang banget ama dia” paparku menjelaskan.

“Kamu punya hubungan apa sama gadis itu? Apa harus  kamu ngalah kayak gitu?”

“Ya gak juga sih, tapi kan aku kasihan sama dia” jawabku sedih. Rika menatapku bingung.

“Lho, trus  kamu biarkan cinta kamu itu padam karena gadis itu, lalu kamu sakit hati, dan nangisin kebodohan kamu sendiri?” cerocos Rika  tak berhenti kalau tak kubungkam mulutnya dengan tanganku.

“Bukan gitu Ka. Aku suka sama lelaki itu, dia juga gitu. Tapi Ka, apa kamu pikir aku bisa hidup di atas tangisan gadis lain yang patah hati karena cinta kami?”

Rika diam. Dia melemparkan senyuman penuh kebingungan padaku.

“Kei, cinta itu anugerah. Kamu berhak mendapatkan apa yang kamu impikan. Kamu gak mesti ngalah untuk orang lain. Apalagi lelaki itu juga suka sama kamu” tegas Rika. Aku membalikan pandanganku ke arah jalan raya.

“Trus aku harus gimana dong?” tanyaku bingung.

“Tuh kan, manjanya kumat” ucap Rika sambil membelai kepalaku.

Rika adalah kaka. Rika adalah sahabat. Dia juga selalu menjadi bagian penting pengambil keputusan dalam hidupku. Kupikir apa yang dikatakannya benar. Aku tak harus mengalah hanya untuk seseorang yang sama sekali tak aku kenal.

“Tapi Ka, kalau gadis itu benci aku gimana?”

“Pentingnya buat kamu?”

“Ya penting dong Ka. Aku gak mau siapa pun membenci aku. Aku juga gak suka menyakiti sesamaku” rengekku sedih.

“Kei, kamu suka dia?” Tanya Rika halus. Kulihat tatapan ragu di matanya.  Aku cuma mengangguk mencoba meyakinkannya.

“Kamu yakin dia juga suka kamu?” tanyanya lagi. Aku kembali mengangguk.

“Kamu yakin sama dia?” untuk ketiga kalinya aku mengangguk. Rika lalu tersenyum

“Kei, ikuti kata hati kamu. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Keyakinan kamu itu adalah kebahagiaan kamu Kei. Jangan mengalah. Ingat jangan mengalah pada siapa pun” Rika berucap dengan sangat bijaksana. Aku merasa kagum. Rasanya baru bebrapa tahun saja aku tak bertemu dengannya, tapi dia jauh lebih dewasa dan lebih bijaksana. Karena kagumnya aku jadi memandangnya dengan terkesima.

“Malah bengong” ucapnya geram sambil mengusap wajahku. Aku pun lalu tersadar.

“Makasih ya Ka, gak sia-sia aku ketemu kamu” tandasku bahagia.

Pertemuan singkat yang bermakna. Itu mungkin pantas untuk menamai pertemuanku dengan Rika kali ini. Dia selalu berhasil menumbuhkan semangat dalam diriku. Tak sia-sia aku bersahabat dengannya kalau begini.

“Aku janji Ka, aku akan ikuti nasihat kamu” gumamku dalam hati.

 

Dingin di musim penghujan. Pertengahan November ini aku mulai menata hidup baru. Kata-kata Rika aku turuti. Aku berusaha mengikuti kata hatiku. Aku mengikatkan diri dengan lelaki itu. Benar yang dikatakan Rika, aku akan menemukan kebahagiaan dalam keyakinan hatiku. Selayaknya bunga-bunga yang mekar di musim hujan ini, aku pun merasakan cintaku berbunga begitu indahnya.

“Kei, aku di Jakarta” ucap Rika di suatu siang menghubungiku lewat telpon.

“Di mana Ka?” tanyaku senang sekaligus menjadi khawatir mendengar nada bicaranya yang tergesa-gesa.

“Kei, kampus kamu daerah mana sih?” tanyanya tak menjawab pertanyaanku.

“Rawamangun. Emangnya kamu mau ke sini?” Aku makin penasaran.

“Iya aku mau nengok sepupuku. Aku lupa bilang sama kamu kalau sepupuku juga kuliah di kampus yang sama dengan kamu” jelasnya. Aku terkejut. Antara senang dan penasaran akhirnya aku memberanikan diri bertanya.

“Emang kenapa dia?”

“Dia sakit Kei” jawab Rika singkat. Aku menjadi prihatin

“Ya udah Kei, ceritanya nanti aja ya. Kamu bisa tolong jemput aku gak di depan?” pintanya. Aku hanya mengiyakan.

“Ka, emangnya sepupu kamu sakit apa?” tanyaku setibanya Rika di kampusku.

“Entahlah. Dia nelpon aku dan minta aku datang. Kayaknya sih berat, tapi dia gak mau kasih tahu orang tuanya” jelas Rika. Aku hanya mendengarkan.

“Kei, aku boleh minta tolong gak?” pinta Rika sambil memegang tanganku. Aku hanya menganggukkan kepalaku.

“Aku minta kamu jaga dia ya kalau aku udah pulang. Dia sepertinya butuh seseorang di sisinya. Maunya sih aku yang nemenin dia, tapi  aku juga sibuk”

“Iya Ka, kamu jangan panik gitu dong. Aku mau kok jaga dia. Kamu juga sih kenapa gak cerita kalau punya sepupu di sini. Tahu begitu aku kan bisa nemuin dia dan temenan sama dia” tandasku. Rika hanya melemparkan senyuman padaku.

 

Aku dan Rika sampai di rumah kost sepupu Rika. Kami mengetuk pintu. Tak begitu lama seorang gadis muncul dari balik pintu dan menghampiri kami. Jarakku agak jauh sehingga gadis itu tak melihatku, tapi aku melihatnya dengan jelas. Jantungku serasa berhenti berdetak seketika

“Anita?” tanyaku tak percaya melihat apa yang aku saksikan. Anita memeluk Rika erat dengan  sangat akrab. Dia lalu menoleh ke arahku. Seketika matanya dipenuhi kemarahan dan kebencian yang dalam. Dia memandangku tajam penuh kesinisan.

“Kakak, siapa dia?” Tanya Anita pura-pura tak kenal. Namun, kulihat sorot tajam kebencian dari matanya menusukku. Aku hanya mampu menunduk.

“Ini sahabat kakak Nit. Dia satu kampus sama kamu. Kakak pernah cerita kan sama kamu?”

“Sini” ajak Rika padaku sambil menarik lenganku.

“Nit ini Keiko, dan Kei, ini Anita” Rika memperkenalkan kami. Gemetar kuulurkan tanganku pada Nita. Dia pun mengulurkan tangannya ragu. Kurasakan aliran kemarahan yang disembunyikan oleh Nita mengalir dari tatapannya padaku.

“Sayang, Kakak mengerti perasaan kamu. Tapi jangan siksa diri kamu begini dong” ucap Rika halus sambil membelai Nita. Aku hanya diam, sepertinya Rika pun tak tahu apa-apa tentang aku dan Nita. Dia membiarkan aku terdiam dan duduk tenang seolah tak perlu tahu masalah yang dihadapi Nita.

“Dengar sayang. Kekuatan cinta kamu pasti menang. Ingatlah, kamu akan dapatkan dia kalau kamu berusaha. Jangan menyerah Nit. Kakak yakin kamu akan menang suatu hari nanti” samar kudengar kata-kata Rika pada Nita. Nita menangis. Dipeluknya Rika erat. Kulihat tubuhnya semakin kurus dibandingkan pertemuanku tiga minggu lalu dengannya saat aku menemani pacarku memberitahu dia tentang hubungan kami.

“Kei, kemari” panggil Rika padaku. Aku melangkah mendekati mereka dengan tangis tertahan karena merasa bersalah pada Nita.

“Nit, kalau ada apa-apa kamu temui kak Keiko aja ya. Kamu pasti bisa berbagi sama dia. Dia itu sahabat terbaik kakak sejak dulu. Dia pengertian dan sangat baik hati” puji Rika di hadapan Nita. Nita menyunggingkan senyum getir padaku. Aku merasakan tatapan Nita seolah menusukku dengan kemarahannya.

Tak ada kata. Nita tak bercerita pada Rika tentang aku. Mungkin dia tak enak menceritakan semuanya. Sementara aku, aku tak bisa berpikir jernih saat ini. Rika berjalan santai di sampingku, sementara kepalaku berputar memikirkan rasa bersalahku.

“Kasihan Nita. Dia gadis yang baik, kenapa bisa menjadi begitu hanya karena kecewa?” gumam Rika halus. Aku mampu mendengar gumaman itu dengan jelas.

“Sungguh, tak berperasaan sekali lelaki itu. Aku jadi pengen ketemu dia dan…”

Mendengar kata-kata Rika aku jadi makin bimbang. Aku bingung apakah aku harus menceritakan semua pada Rika atau tidak.

“Kei, mau menemani aku menemui lelaki itu?” Tanya Rika lagi. Aku makin gemetar saja.

“Hey, kok diem sih?” Rika mengguncang bahuku.

“Kamu denger gak sih Kei?” lanjutnya.

“Iya” jawabku gugup. Rika menatapku heran. Dia seolah merasakan kegugupanku.

“Kei, ada apa sih?” Rika kembali mengajukan pertanyaan padaku. Dia tampak sangat penasaran.

“Ka, aku boleh tanya sesuatu gak?” tanyaku ragu. Rika menatapku sambil melemparkan senyuman heran.

“Kamu lebih sayang aku atau sepupu kamu?” lanjutku masih dalam keragu-raguan yang sama.

“Ya, aku sayang kalian berdua. Emangnya kenapa sih kamu tanya itu?” Rika balik bertanya.

“Kalau kamu harus memilih, siapa yang akan kamu pilih?” Aku melemparkan pertanyaan selanjutnya. Rika tak menjawab. Dia kebingungan

“Udah ah, gak penting” tandas Rika cuek.

“Ka, …” pintaku serius.

“Gak bisa Kei. Aku sayang kalian berdua. Lagian, kenapa sih kamu pengen banget aku jawab itu?”

“Karena aku pengen tahu Ka” jawabku.

“Eh ya, gimana kabar pacar kamu? Trus gadis itu udah tersingkir kan?” tanya Rika mengalihkan topik bahasan. Aku tak menjawab.

“Kei ayo dong jawab.” pinta Rika memaksa”

Mendung di langit sore ini mulai tampak. Meski titik hujan belum turun, dingin sudah mulai menyusup pelan menusuki sendiku.  Kulirik Rika di sampingku. Gejolak batinku berlomba mencari jalan keluar dari masalah ini.

Tiba-tiba aku tak tahu harus berbuat apa. Tangisku mulai pecah dan air mata tak bisa lagi kutahan. Rika tampak terkejut melihatku.

“Kei, kamu kenapa?” tanyanya panik. Ditatapnya aku lekat.

“Aku mau putus” teriakku penuh emosi. Rika menatapku semakin heran. Dia tak bertanya apa pun. Dia hanya menunggu kata selanjutnya yang akan aku ucapkan.

“Aku yang salah. Aku yang buat Nita kamu sakit” ujarku terbata. Rika hanya mengernyitkan dahinya.

“Aku yang mengambil cinta Nita Ka. Aku yang ngalahin Nita dan membuatnya seperti itu” lanjutku. Rika mematung dalam keterdiamannya.     “Ka, aku gak tahu kalau Nita itu sepupu kamu. Kalau aku tahu, aku pasti ngalah. Demi Tuhan, aku menyesal melakukan ini” kataku di tengah tangis.

Rika bergeming. Dia hanya terlihat menarik napas dalam beberapa kali. Kulihat dia pun menitikan air mata.

“Kei,…” panggilnya halus.

“ Apa yang akan kamu lakukan?” tanyanya kemudian.

“Aku akan mengakhiri semua Ka. Aku gak mau nyakitin Nita lebih jauh. Kamu bilang pada dia tadi kalau suatu hari dia akan menang. Dia menang Ka. Aku mengalah” ucapku gemetar.

“Jangan Kei. Biarkan saja. Nita akan sembuh dengan sendirinya. Dia hanya perlu waktu” bujuk Rika halus.

“Enggak Ka. Aku akan minta maaf sama dia. Aku mau berteman dengan Nita. Aku harap Nita akan memaafkan dan menerima aku sebagai temannya. Kamu bilang dia butuh teman. Aku mau Ka gantikan kamu kalau kamu gak di sini”

 

Rika memandangku tajam. Kurasakan duka di matanya.

“Kei, maafkan aku ya” ucapnya kemudian. Dipeluknya aku erat.

“Kamu gak salah. Kamu hanya memberi aku nasihat. Kamu Cuma ingin aku dan Nita memperoleh yang terbaik dalam hidup kami. Aku tahu Ka kamu sayang sama kami, jadi kamu nasihati kami”

“Apa kamu rela melakukan itu?” Tanya Rika lagi. Aku hanya mengangguk

Rika melemparkan senyuman padaku. Dibelainya kepalaku. Aku sakit, Nita sakit, dan aku yakin Rika jauh lebih sakit karena kesakitan yang dirasakan oleh kami berdua. Kutatap Rika. Semua seperti mimpi saja rasanya. Aku jadi berpikir lagi bahwa aku sebaiknya berusaha unuk memikirkan perasaan gadis lain yang mungkin tersakiti karena cintaku. Ya, siapa pun gadis itu, walau mungkin dia bukan sepupu dari sahabat yang paling aku sayangi di dunia ini.

 

 

Jakarta, November 2006

@annamarlien

Memoar Persahabatan

Malam ini udara dingin menusuki relung sukma. Tak tahu apa yang aku lihat pada gelapnya malam. Tak mengerti apa yang aku temukan pada dinding-dinding beku di musim penghujan. Tapi, inilah aku. Aku merasakan kehangatan yang serupa setiap kali berada di kota ini. Meski di luar sana, hujan turun deras menyiram bumi.

“An, kalau aku boleh bilang, apa pun yang aku pikirkan, semoga takkan membuatmu marah”

Percakapanku dengan Di kembali terngiang. Aku sudah lelah. Lelah sekali dengan semuanya. Tapi ada hal yang membuat aku tak mungkin melupakan percakapan itu. Ya, kenangan Di. Di yang kini telah menemukan dunianya yang baru. Entah dia bahagia atau tidak, entah dia kini dengan siapa. Tapi, aku selalu mengingatnya. Ketika kepergiannya di malam itu menghantarkanku pada sebuah tangis tak bertepi seperti malam ini.

‘Tapi Di, aku tak tahu apa yang kamu pikirkan” ucapku manja

“Jangan An, kita pernah berjanji. Dulu sekali. Dan itu tak boleh kita ingkari”

“Maksudmu Di?”

“Janji kita An bahwa persahabatan itu lebih penting dari apa pun” tandasnya tegas.

Aku terpekur lama. Kepalaku kubiarkan berpikir hebat. Ia bertarung mencari sebuah memori di antara berjuta memori yang juga bertempat tinggal di sana.

“Sudahlah An. Kamu kok jadi berpikir serius lagi sih?” ucap Di  memintaku berhenti mencari tahu maksud kata-katanya.

“Tapi Di, aku mau tahu apa yang ada dalam pikiran kamu” pintaku memaksa. Di hanya melemparkan senyumnya. Lalu membiarkan tangannya membelai kepalaku yang ditutupi kerudung. Aku diam, tak mampu menolak atau mengelak. Kutatapi wajah Di seperti biasanya. Tangan Di masih hangat membelai kepalaku.

“Aku sayang kamu Di” kata-kata itu kupeluk erat dalam hatiku. Biar aku dan Tuhan saja yang tahu. Biar Di tak pernah tahu itu.

“Kamu janji kan An akan tetap menjadi seperti hari ini” lanjutnya halus. Kurasakan mata Di menatapku dengan tatapan yang aneh. Aku pun tak mau mempertanyakan apa pun padanya.

“Aku sayang kamu An. Jaga diri kamu ya supaya kalau kita bertemu lagi kita masih dapat seperti ini” ucapnya sambil melemparkan senyuman kecil padaku. Senyum termanis yang pernah aku temui dari seorang lelaki. Dan aku merasa bahagia setiap kali menemui senyuman seperti itu dari wajahnya.

 

Setelah hari itu Di menghilang. Tak tahu ke mana, entah dengan siapa, dan juga tak jelas melakukan apa. Tapi, aku kehilangan dia. Aku terus mencari kabar tentangnya. Aku tak berhenti, aku terus dan terus mencari tahu tentangnya. Sampai hitungan hari berlalu, minggu, bulan, bahkan hampir satu tahun ini terlewati.

Kadang, aku muak, bahkan sangat muak. Tapi,  dalam kemuakan itu aku mencoba tak peduli. Aku tetap berusaha mencari kabarnya, tapi tak ada yang tahu keberadaannya. Ia hilang. Di raib begitu saja tanpa kabar. Hanya sesekali saja mengabariku yang merasa rindu padanya.

“Mungkin Di sudah bahagia” pikirku kadangkala menghibur diri sendiri. Aku mencoba menyembuhkan keresahan diriku. Aku tak mau menyalahkan diri karena aku tahu pasti Di juga sangat terluka berpisah denganku.

“Mungkin Di memang ingin melepaskan diri dari persahabatan kami. Tapi, jika memang benar, apa mungkin?” Aku pun kadang bertanya kembali.

“Hay An, apa kabar?”

Itu kata-kata Di yang membuatku sesak. Dia datang lagi. Datang tanpa kuminta, lalu pergi lagi. Juga muncul tanpa tanda-tanda. Ya, semua berjalan begitu saja. Bahkan begitu mudahnya. Ia hanya mengatakan dirinya baik-baik saja. Tapi aku juga tetap tak berani bertanya, bagiku Di punya haknya sendiri untuk memilih masa depannya.

Kubiarkan semua berjalan. Dunia ini pun terus berputar. Di datang lalu hilang. Ia kembali, lalu pergi lagi.  Aku pun mulai terbiasa dengan semuanya.  Tak ada lagi yang istimewa, kecuali keberadaan Di di hatiku yang tak pernah berubah.

 

 

Tahun-tahun pun berjalan di hadapan kami. Di menghilang semakin jauh. Ia meninggalkan jejak kenangan di atas memoar persahabatan kami. Aku semakin tak pernah mendengar  kabar darinya. Walaupun begitu, Di tetap sahabatku dan aku masih tetap menyimpan kenangan tentangnya. Masih mengingat pintanya untuk tetap menjadi seperti ini sampai kelak kami dipertemukan kembali.

“Di, andai itu pilihan hatimu, tapi kuharap bukan”

Keputusan Di memilih orang lain membuat hancur hatiku. Tapi, siapalah aku, aku hanya sahabat yang hanya dapat berharap memiliki tempat di hatinya. Di luar itu, aku juga hanya dapat berpikir baik untuk Di. Mendoakannya menemukan kebahagiaan dengan siapa pun dia. Mungkin Di akan lebih bahagia jika dia memiliki seseorang di sana. Aku tak peduli, aku akan tetap menyayanginya tulus. Setulus ketika aku dan dia masih sama-sama sendiri.

Di pun tak berubah. Dia selalu ada  di tengah kepergiannya yang berulang. Dia datang membagi cerita. Kembali memberi canda seperti biasa. Di tetaplah Di, yang selalu meminta perhatian dengan manja padaku. Demikian pun aku sebaliknya. Tak peduli  Di dengan siapa, aku masih akan terus menjadi sahabatnya.

 

“Lalu apa yang sesunguhnya ingin kamu dapatkan An?”

“Tak ada Di, selain sebuah kata yang akan membuat aku berhenti menyayangimu sebagai  sahabatmu”

“Maksudmu?”

“Katakan sesuatu padaku Di, agar aku berhenti. Buat aku membencimu Di. Membenci hati dan persahabatan kita”

Di mungkin akan terpekur atau mungkin hanya akan menanggapi dengan senyuman. Seperti beberapa tahun lalu ketika Di memintaku berkenalan dengan pacar yang kini sudah berpisah dengannya. Dia hanya tersenyum ketika aku menolak dengan alasan cemburu.

“Kenapa An kamu gak mau kenal dia?” tanyanya penasaran.

“Pokoknya aku gak mau, titik. Kamu pikir aku gak cemburu apa kenalan sama pacar kamu” jawabku manja seperti biasa.  Tak ada tanggapan lain selain tawa itu. Dia tak pernah menanggapi sesuatu berlebihan. Kesederhanaan membuatnya merasa semua biasa saja. Bahkan kata-kata yang seharusnya ditanggapinya dengan perasaan hanya dia luapkan dengan satu tawa kecil saja. Tapi, itulah Di. Aku mengenalnya jauh lebih baik dari siapa pun. Makanya aku selalu dapat memaklumi semua tingkah lakunya. Sampai akhirnya dia mengakhiri hubungan dengan pacarnya itu dia tak pernah memintaku untuk bertemu dengqn gadis itu. Itu berarti dia mengerti bahwa aku memang cemburu.

 

“Aku mohon An, pergilah dari hidupku. Aku sudah menghindarimu, berhentilah menggangguku. Jangan lagi memperhatikan dan menyayangiku. Karena sungguh sejak kemarin dan hari ini, aku hanya menganggap dirimu sebagai seorang teman. Tak lebih”

Jika saja itu yang dikatakannya padaku, bukan kata-kata yang membuat aku tertegun dalam keyakinan hati padanya. Sejak kemarin lalu pasti aku telah meninggalkan Di. Jauh pergi meninggalkan kenangan hatiku dan menguburnya bersama memoar persahabatan kami. Tapi sayangnya, justru kata-kata sebaliknyalah yang dia ucapkan padaku saat itu. Padahal di sana dia juga masih merajut cintanya dengan gadis itu.

“Pergilah An, jalanilah hidupmu di sana. Dan aku akan menjalani hidupku di sini. Pergilah dan lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Tapi An, aku yakin,  sejauh mana pun kamu pergi, suatu hari kamu akan kembali kepadaku. Berjanjilah An, kamu akan kembali kepadaku”

Hanya kata-kata itu yang tersisa dalam ingatanku. Kata-kata Di yang membuat aku menjadi beku. Dan hidup dalam sebuah janji hati yang dalam. Lalu menutup hati rapat-rapat atas segala harapan yang terlempar padaku. Aku menolaknya dengan alasan, dia bukan Di. Bukan sahabat yang aku tunggu kedatangannya bertahun-tahun ini.

“Benar Di. Kamu benar dengan segala kata yang kamu katakan padaku.  Aku telah mencoba. Bahkan mencoba berlari begitu jauh mencari duniaku sendiri. Tapi Di, duniaku terlalu penuh dengan kamu. Pikiranku telah terasuki segala kenangan tentang kamu. Hingga pernah suatu hari aku melihat wajahmu di setiap sosok manusia yang aku lihat.”

“Aku gila Di, aku gila…lihatlah aku dengan kesetiaan yang membuatku seperti orang bodoh Di.”

Akh…, aku sudah terlalu gila. Sepertinya aku tak bisa lagi bersembunyi dari hatiku, meski aku tahu kami takkan mungkin dapat mengkhianati persahabatan kami seperti yang dikatakan Di dulu.

“Aku merasa semakin gila saja Di.  Mohon tolong aku menemukan akhir cerita ini”

Sesekali hatiku berteriak. Memaki diri, menangis sendiri. Aku pecundang yang menyembunyikan perasaanku kala itu. Dan ketika aku sadar betapa cintaku telah terlanjur dalam, Di tak ada lagi di sini. Di hilang. Dan aku gila. Aku kehilangan akal sehatku untuk waktu yang cukup lama.

“Kamu di mana Di? Aku merindukanmu”

Perjalanan hari tak pernah berhenti. Kini sudah hitungan empat tahun terlewati. Orang-orang telah sibuk mencari masa depannya, membangun harapan untuk mimpi mereka bersama seseorang yang telah nyata di hadapan mereka. Tapi, sayangnya aku berbeda. Aku masih saja berdiri di sini menunggu kembalinya Di. Aku masih terus berdoa hanya untuk meminta Di kembali padaku. Bahkan, aku masih terus mempersiapkan diri dengan kasih sayang  sehangat dulu ketika aku dan dia masih bersahabat. Walaupun Di tak pernah menyiram  kasih itu untukku beberapa tahun ini, aku masih terus membangunnya dengan angan dari memoar persahabatan kami. Aku yakin, jika suatu hari Di mengingat janjinya, dia pasti kembali. Jika pun tidak, aku tak akan menangisinya, karena aku yakin aku telah memberikan yang terbaik untuk memenuhi permintaan Di beberapa tahun lalu.

“Di, aku masih di sini. Masih orang yang sama yang menyayangimu seperti dulu. Aku pun melakukan seperti yamg kamu minta Di. Masih menjadi seperti ini untuk menunggu kamu kembali”

Airmataku sudah kering. Ini tahun ke tiga setelah aku benar-benar menyembuhkan diri dari kehilangan Di. Tahun 2007 lalu, semua kuakhiri. Kenangan Di kukubur dalam setelah aku kehilangan dirinya terlalu lama. Aku menyerahkan hatiku pada takdir hidup. Aku tak mau kegelisahan dan penantianku terhadap Di membuatku mati. Aku masih berusaha untuk bangkit menjadi seorang manusia yang berbeda setelah kematian hatinya beberapa tahun lalu.

“Kamu banyak berubah Di. Itu yang aku dengar dari teman-teman” tandasku memberanikan diri setelah sekian tahun kehilangan sosok Di dan akhirnya menemukannya lagi dalam dunia ini.

“aku gak berubah An. Aku masih seperti dulu. Seorang yang hidup dengan idealismenya. Fisik pun masih tetap sama” jawab Di menanggapi kalimatku yang penuh kelakar beberapa bulan lalu.

Akh, bagaimanapun Di mengatakan dirinya tak berubah, bagiku semua telah berubah. Aku tak lagi kenal Di seperti ketika dia menjadi sahabatku. Yang tak berubah Cuma satu, aku masih begini. Masih setia dengan kesendirianku. Dan ada orang lain di sisinya, seperti biasa.

Tak ada kata-kata hangat. Bahkan aku telah lupa bahwa Di pernah memintaku berjanji padanya untuk mendampinginya hingga dia mati. Aku membuat diriku lupa semua itu. Aku tak hendak mempecundangi diri dengan kebodohanku selanjutnya. Meski sesekali pertanyaan itu muncul kembali di benakku.

“Ke mana kamu Di selama ini? Mengapa meninggalkanku saat itu?”. Di tak lantas menjawab pertanyaanku. Susah payah kubawa dia dalam percakapan ini. Aku harus lebih sabar menghadapinya. Hanya karena aku ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya.

Di terus mengelak dan mencoba mencari kalimat penutup dari perbincangan ini. Tapi aku memaksanya terus. Aku harus mendengar kejujuran darinya. Aku hanya ingin tahu. Hanya itu, tidak untuk mengulang apa pun.

“Aku gak suka didikte dan diperhatikan” jawab Di singkat. Deretan kalimat sudah siap kulontarkan kepada Di. Tapi semua itu kutahan. Aku tahu sudah tak berhak lagi mengatakan apa pun pada Di. Dia bukan Di-ku yang dulu.

“Tapi kamu dulu gak begitu. Kamu selalu merasa senang setiap kali aku perhatikan Di” kalimat itu tak ditanggapinya. Di masih diam. Andai bisa kulihat ekpresi wajahnya kala itu, pasti lebih nyata. Sayangnya hanya ini yang bisa kulakukan. Bicara dengannya dalam kalimat tulis online.

“Kamu tahu Di, betapa sakitnya aku ketika kamu meninggalkanku saat itu? Aku stress Di menghadapi perubahan sikap kamu”

“Tapi akhirnya kamu terbiasa kan?”

“Yah, aku terbiasa. Tapi perlu waktu lama untuk menyembuhkan diriku Di. Aku yang tahu betapa sulitnya Di. Lama sekali hingga aku bisa seperti ini lagi”

Di tak banyak menanggapi kalimatku. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Semua memang Cuma kenangan, tapi ketika semua diungkit kembali, sakitnya terasa lagi untukku.

“Maafin aku” tandasnya kemudian.

“Aku sudah memaafkan kamu Di. Saat itu. Aku belajar mengerti dan menerima semua keputusan sepihakmu. Aku belajar melupakan semua janjimu Di. AKu lupakan itu demi kebaikan kita berdua. Jika itu pilihanmu”.

“Satu lagi Di. Aku tidak pernah mengkhianati, meninggalkan atau melupakanmu”.

Kata maaf Di membuatku lega. Hidup dalam tanda tanya bertahun-tahun ini menyiksaku. Meski Di bukan lagi sahabatku. Meski Di bukan lagi lelaki yang kusetiai sejak tiga tahun lalu, aku masih menyimpan Di dalam memoar hatiku. Di, dia lelaki yang menempati sebagian besar ruang hatiku hingga hitungan lima tahun. Dan aku mengakhirinya dengan sebuah keterpaksaan.

“Di, aku tak pernah mendiktemu. Apa pun yang aku lakukan selama kebersamaan kita, itu karena aku peduli. Maaf jika itu menyesakkanmu. Bila saja bisa kamu lihat sayangku di sini Di. Betapa setianya aku untukmu Di. Tuhan tahu itu, meski mungkin kamu tidak akan pernah tahu. Aku pernah mencintaimu sangat dalam Di. Dan aku telah berusaha menepati janjiku kepadamu Di. Aku berusaha menemanimu hingga kamu mati, hingga akhirnya kamu menyingkirkanku Di.”

Semuanya berakhir. Memoar persahabatan Di telah bertepi dalam sebuah akhir cerita. Ada lega. Meski penantianku tak terjawab dengan akhir bahagia.

“Aku pergi Di, bukan lupa pada janjiku, tapi untuk hormatku atas keputusanmu”

 

Untuk bintang malamku “Sandy Meirif Winata Praja”

Berbahagialah “jiwa” dengan hidupmu!

TANYA DI MALAM PERTAMA

Malam hitam  berhias gerimis. Di luar dingin, dan kubayangkan hangat di bawah balutan selimut tebal menjadi penghangat yang menanti. Di kamar ini, semerbak wangi melati menghantar aroma ruangan dengan kehangatan yang nyata.

“Kemala, aku telah mencoba mencari hati lain untuk kutempati. Tapi ternyata, aku tak bisa. Aku masih sangat mencintaimu La. Bersediakah kamu menjadi bagian hidupku selamanya?” Itulah kalimat indah Seta tiga bulan lalu yang membuatku melambung tinggi. Di tengah kesendirian yang begitu panjang tiba-tiba dia kembali datang membawa sebuah mimpi dan harapan masa depan yang sempat terkoyak ketika ia meninggalkanku dulu.

“La, ingatkah kamu pada bintang malam dan semua kalimat yang kita bingkai beberapa tahun lalu?” tanyanya malam itu di tengah makan malam romantis yang dibuatnya untukku.

Ya, kisah itu. Bintang malam dan cerita yang kami bingkai bersama waktu itu. Hampir sejak sepuluh tahun lalu dan berakhir dalam genggaman perpisahan tiga tahun lalu. Tentu aku mengingatnya. Mengingatnya dengan sangat jelas. Bahagia hingga sakitnya.

“Ta, kenapa memilih aku?” tanyaku singkat kala itu.

“Karena kamu. Karena kamulah yang bisa meyakinkan aku dengan kesetiaan itu La. Kamu yang menyetiaiku begitu lama. Kamu yang menungguku dengan penuh kesabaran. Tidak ada lagi La. Tak ada yang seperti kamu”

“Hanya itu?” tanyaku mengernyitkan dahi.

“Aku menyayangimu. Meski selalu aku pungkiri. Aku tak bisa mengingkari bahwa tak ada wanita yang bisa kusayangi melebihi sayang yang kupunya kepadamu dulu.”

“Kamu yakin Ta?”

Seta tak lantas menjawab. Digenggamnya tanganku hangat.

“Cuma itu yang aku punya La. Keyakinan hati. Dan kamulah wanita itu La. Wanita yang layak menjadi pendampingku dan kelak menjadi ibu bagi anak-anakku.”

“Bersediakah kamu Kemala Puspita?” tanyanya lagi penuh keseriusan.

Aku tak segera menjawab. Kupandangi Seta lekat. Lelaki ini. Dialah lelaki yang begitu lama menempati hatiku. Lelaki yang memberikan kedalaman cinta di sepanjang penantianku di atas dunia. Meski kami pernah terpisah begitu lama, Tuhan akhirnya mempertemukan kami lagi dalam pertemuan takdir. Hingga kami sampai pada malam ini.

“La, kamu belum menjawab pertanyaanku”

“Akh Tuhan, Kau yang membawanya pergi, Engkau pula yang membawanya kembali. Diakah takdirku Tuhan? Apa yang harus kuingkari jika Engkau telah mengaturkannya untukku?” Itulah kalimat yang kurangkai dalam hati yang kemudian membawaku pada sebuah keputusan. Keputusan untuk memilih Seta sebagai pasangan hidupku.

“Kamu diam saja” Ucap Seta sambil melingkarkan kedua tangannya pada tubuhku. Aku bergeming. Dadaku berdegup kencang. Wangi farfum masih menyengat tercium dari tubuhnya.

Pelan-pelan kulepaskan kedua tangannya. Beberapa langkah maju lalu kubuka jendela bergorden putih penuh kemewahan.

“La, malam ini seperti mimpi rasanya” katanya lagi kembali mencoba memelukku. Kurasakan nada bahagia dari kalimatnya. Aku masih diam. Kubiarkan dia dengan haknya memiliki seluruh tubuhku. Sejak ijab kabul terucap pagi tadi, aku tahu aku sudah tak berhak lagi atas diriku, dan dia sudah memilki kuasa atas kebebasanku sebagai seorang perempuan.

“Malam ini aku ingin kita membaginya dengan cerita. Kamu tak keberatan kan La?” tanyanya lalu merenggangkan pelukannya.

“Ya, tentu” jawabku singkat dan datar. Seta mengernyitkan kedua alisnya, merasa heran dengan jawaban singkatku yang tanpa ekspresi.

“La, ada apa? Sejak beberapa menit lalu aku lihat kamu gusar?” tanyanya lagi penuh penasaran. Aku hanya menarik napas dalam mendengar pertanyaannya. Gejolak batinku mengatakan keharusan untuk berkata jujur padanya, sementara setengah hatiku menolak mempertanyakan hal yang sudah tak ada gunanya aku pertanyakan lagi.

“La, kamu kenapa?” Seta mengulangi pertanyaannya. Kubalikkan badan lalu menatapnya dalam.

“Lelaki yang manis. Lelaki termanis yang pernah aku temui di muka bumi ini. Andai saja aku dapat seperti orang-orang, pasti malam ini aku sudah berada dalam pelukan hangatnya dan mendapati diri kami tak berdaya dalam kekuasaan cinta” Pikirku sambil terus memperhatikannya. Dia sadar aku memperhatikannya dengan pandangan yang aneh. Dia mencoba melemparkan senyum padaku. Senyum manis yang tak pernah ingin aku lewatkan sejak beberapa tahun lalu itu kini benar-benar untukku dan benar-benar telah menjadi milikku.

“Seta, apa kamu benar mencintaiku?” tanyaku sekenanya. Pertanyaan itu mengusik ketenangan Seta rupanya. Dia menatapku heran. Kurasakan warna gelisah dari matanya.

“Maksudmu La?” dia bertanya tak mengerti.

“Maksudku, apa semua ini benar-benar keinginan hatimu?” lanjutku. Kebingungan tampak kian jelas dari wajah Seta.

“Aneh. Kamu bertanya hal yang tak masuk akal La” tandasnya dengan nada tak suka. Dia melangkahkan kakinya ke pintu keluar.

“Jawab Ta, bukan seperti itu” pintaku kemudian menghentikan langkahnya. Ditutupnya lagi pintu kamar yang sempat terbuka.

“Apalagi La? Harus berapa kali aku ulangi padamu bahwa aku mencintaimu, mencintaimu dan sangat mencintaimu” ucapnya menekankan kalimat terakhir. Aku melemparkan senyum sinisku padanya.

“Tidak Ta, kamu tak mencintaiku” ucapku sekenanya. Kulihat amarah mulai jelas menghias wajah Seta. Tatapan matanya dipenuhi dengan ketidaksukaan atas kata-kataku barusan.

“Lalu apa ini La?” tandasnya sembari menunjukkan cincin yang melingkar di jarinya. Cincin pengikat pernikahan yang baru disematkan di jari kami pagi tadi.

“Itu hanya cincin Ta” ucapku singkat.

“Ya, itu memang hanya cincin La, karena kamu menilainya demikian. Tapi La, bila saja kamu mengingat janji kita tadi di hadapan Tuhan. Apa itu tak cukup La?” lanjut Seta tak lagi bisa menyembunyikan kemarahannya.

“Apa yang merasukimu Kemala?” keluhnya dengan nada sedih.

“La, apa yang harus aku lakukan agar kamu tak terus bertanya. Kenapa tiba-tiba saja kamu merasa ragu. La, ingat…ingat. Sejak lalu aku sudah memberimu pilihan, mengapa kamu memilih langkah ini jika kamu masih ragu?” Ucapnya tertahan sambil diguncangnya kedua bahuku. Kurasakan cengkeraman tangannya begitu kencang, hingga dengan spontan aku mencoba melepaskan diri dari cengkeraman itu.

Seta tampak menyadari bahwa kemarahan telah menguasainya. Dia menarik napas pelan, lalu pelan-pelan melepaskan cengkeraman itu. Wajahnya berubah mendung.

Aku diam. Memang benar yang diucapkannya. Benar kalau aku menerima dia dan memilih langkah untuk hidup dengannya. Sejauh ini aku pun menyadarinya. Aku juga ingin menerima keputusan ini sebagai keputusanku. Sayangnya, beberapa menit lalu aku menjadi bertanya dan terus bertanya apakah ini adalah pilihan yang tepat.

“La, kamu mungkin terlalu lelah. Sebaiknya kita hentikan pembicaraan buruk ini” tandasnya menghindari percakapan yang jika dilanjutkan akan  memuncak menjadi pertengkaran.

Aku masih tetap diam. Diam dalam kebisuanku. Setengah hatiku mengakui kebenaran ucapannya. Aku tahu bahwa percakapan ini akan membuat segalanya menjadi rumit. Namun, setengah hatiku juga tetap meronta. Aku ingin bicara dengannya sebelum aku terbangun esok hari dengan dia di sisiku.

“Ta, tolong jangan berhenti. Aku masih ingin bicara” pintaku melemah. Aku masih tak kuasa membiaskan kegalauan dalam hatiku. Semuanya nyata terbaca dalam kata-kata.

“La, apa yang kamu inginkan sebenarnya?”pertanyaan Seta seolah membangun jurang di antara kami. Dia seolah bertanya pada seorang asing yang tak dikenalnya.

“Ta, kenapa dulu kamu meninggalkanku?” tandasku selanjutnya. Kulihat Seta secara spontan mengarahkan tatapan tajamnya yang dipenuhi kemarahan kepadaku.

”Jadi kamu masih menyimpan kenangan buruk itu La?”tanyanya tak mampu menyimpan kesedihan dan kekecewaan yang menyelimutinya.

”Aku pernah menjawabnya beberapa bulan lalu kan La?” Matanya mulai berkaca.

Aku diam. Aku ingat beberapa bulan lalu ketika aku mempertanyakan pertanyaan yang sama kepadanya. Dia meninggalkanku saat itu karena ingin menemukan dirinya sendiri. Ingin tanpaku, yang membuatnya tampak lemah sebagai lelaki karena kebergantungannya terhadapku. Ingin jauh dariku yang dianggapnya selalu berhasil mendiktenya. Ingin melepaskan diri dariku yang mencengkeramnya penuh kekuasaan dengan perhatian yang tak bisa ditolaknya. Ya…itu yang dikatakannya. Dan aku mengingat dengan jelas kalimat Seta beberapa bulan lalu itu.

”La, aku mohon. Semuanya sudah lewat. Beberapa bulan lalu kita sudah memutuskan untuk melangkah ke sini. Tolong La. Biarkan semuanya menjadi masa lalu. Hari ini semuanya akan dimulai untuk kita.” Seta mendekatiku, lalu memelukku.

Aku tak menjawab. Tak juga kuasa bergeming. Aku tahu dan sadar dengan sepenuh hatiku bahwa aku telah menyakiti hati laki-laki yang ada di hadapanku ini. Laki-laki yang kini benar-benar telah menjadi suamiku.

”Aku mencintaimu La, dengan hati dan jiwaku” bisiknya lembut ke telingaku.

Aku masih diam. Airmata makin deras menetes. Rasa sesal menyeruak seketika dalam hatiku.

”Sudah malam La, tidurlah” Seta melepaskan pelukannya dan melangkah menjauh dariku.

”Ta, bila setelah ini aku kembali menjadi orang yang ingin kau tinggakan, apakah kamu akan meninggalkan aku lagi?”

Seta menarik napas dalam. Dia menunggu beberapa saat untuk menjawab.

”La, jangan menyamakan keadaan sayang. Aku pernah menyakitimu. Aku minta maaf jika itu begitu membekas di hatimu. Kita sudah menikah sekarang La. Aku suamimu. Semuanya sudah tidak sama lagi dengan ketika itu.”

Aku masih menangis. Kesedihan yang aku rasakan saat ini adalah luka yang membekas di hatiku karena Seta pernah meninggalkanku beberapa tahun lalu. Sampai dia kembali dan akhirnya kami memutuskan menikah. Aku pun tak pernah tahu mengapa pertanyaan itu muncul malam ini.

Seta melangkahkan kakinya. Dia membuka pintu dan meninggalkanku dalam kesendirian.

Embus angin kian kencang. Aku mendekat ke arah jendela. Berdiri memandang ke langit lepas. Hitam pekat. Sayup suara keramaian masih terdengar dari bawah. Sisa-sisa kemeriahan pesta siang tadi bercampur dengan kelelahan sepertinya memberikan aroma tersendiri bagi orang-orang yang ada di sini.

Tak lama kudengar suara pintu ditutup. Seta datang dengan segelas air putih.

“Minum La” ujarnya sambil mengulurkan gelas itu kepadaku. Aku meraih gelas itu dari tangannya.

Seta pun tak bicara lagi. Dia memalingkan wajahnya. Lalu melangkah menaiki ranjang pengantin kami yang menjadi saksi bisu kepahitan hati kami malam ini. Dia segera merebahkan tubuhnya dan mencoba memejamkan kedua matanya.

“Apakah kamu akan meninggalkanku lagi suatu hari nanti Ta?” suaraku kian lirih. Airmata dalam ketakutan itu tiba-tiba mengalir.

Seta  bahkan tak mengangkat pandangan matanya ke arahku. Dia menunduk dan tak menjawab pertanyaanku. Dia memilih diam.

Malam makin sunyi. Keheningan makin marajai semua sisi waktu yang tersisa. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan angka satu. Seta tak lagi bersuara. Kulihat dia telah memejamkan kedua matanya. Aku mendekat kepadanya. Duduk di satu sisi ranjang yang lainnya. Tiba-tiba kurasakan sesak saat kulihat tetesan air mata mengalir dari mata Seta yang terpejam.

Sesal menyeruak kian dalam. Seta juga pasti memiliki rasa sakit yang sama sepertiku saat ini. Kusentuh tubuhnya. Kubelai sebelah pipinya lembut. Dan kucoba menghapus air mata yang mengalir di wajahnya.

”Maafkan aku sayang. Maafkan aku tak bisa menahan kemarahanku. Maafkan aku membuatmu menangis malam ini. Aku mencintaimu”bisikku di telinganya.

Kurangkulkan tanganku pada tubuhnya. Kurasakan kegetiran ini semakin dalam. Meski ada sedikit pertanyaan yang masih ingin kudengar jawabannya dari dia, tapi aku tak bisa memaksanya untuk bicara. Seta membuka kedua matanya.

”La, percayalah pada pilihan kita sendiri” bisiknya halus. Aku makin merapatkan tubuhku dalam pelukannya. Kurasakan kedua tangan Seta juga memelukku kian erat.

”Ya, aku pernah meninggalkanmu. Aku pernah menyakitimu. Maafkan aku La bila hatimu masih terluka” ujarnya menahan tangis. Kurasakan butiran air menetes di pundakku.

”Aku mohon La. Aku mohon lupakan itu. Aku tak akan pernah meninggalkanmu lagi La. Aku bersumpah demi Tuhan.” suara Seta terdengar kian parau.

Aku tak bersuara. Rasa takut itu masih ada. Aku mencintainya. Mencintainya dan begitu takut ia menyakitiku lagi.

Wangi melati masih memenuhi kamar pengantin ini. Aku tak bicara apa pun lagi. Kulempar semua pertanyaan yang ada di kepalaku jauh. Tak mau mengucapkannya lagi pada lelaki yang semakin erat memelukku ini. Kucoba memejamkan kedua mataku. Menarik napas dalam dan sesekali membelai kekasihku ini. Aku ingin semua menjadi kebahagiaan yang tak menyisakan bayangan pahit masa lalu. Karena inilah yang aku pilih. Ini juga yang harus kujalani.

19754_1262693761357_1050104062_30619833_6259524_n

Jakarta 2005-2010

Dua Warna Dua Rasa

JAKARTA DALAM KETERASINGAN MALAM

Mendung menggelayuti kelam. Aroma cuaca menghantarkan wangi. Bersama angin yang berembus, dingin cuaca terasa membeku. Dan aku masih berdiri di tempat yang sama. Pada keheningan hati dan kesendirian yang begitu panjang.

“Lalu sepi ini milik siapa?”tanyaku dalam kelu. Sepi itu tak bersuara. Raut wajahnya semakin nampak jelas. Dia menyeringaikan senyuman hangat yang semakin lama terasa semakin hambar.

“Dunia ini sebentar lagi akan berakhir, Jan!” lanjutku masih kelu. Wajah Januar masih tetap sama. Rata tanpa ekspresi. Aku hanya menunggunya berbicara.

“Apa maumu?” pertanyaan singkat itu tiba-tiba dilontarkannya. Aku pun tak langsung menjawab. Aku coba menyusun kata-kata yang terlalu banyak ini untuk kuucapkan. Aku susun satu demi satu agar semua akhirnya dapat terucapkan dengan baik.

“Maksudmu?” tanyaku terbata. Meski aku mengerti apa yang diingini Januar, aku masih terus berpura-pura tak mengerti.

“Aku mau kamu mengatakan semuanya padaku” jawabku kemudian. Januar yang lugu tampak semakin lugu mendengar jawaban yang aku lontarkan.

“Tentang apa?”tanyanya lagi.

Kesesakan semakin mengental. Lima tahun sudah aku diam. Dan aku hanya perlu kata yang jelas darinya. Bukan sebuah pertanyaan yang membuat aku semakin bingung.

“Sungguh Jan kamu tak mengerti apa yang aku inginkan?” kulemparkan lagi sebuah pertanyaan untuk mempertegas semuanya. Januar lugu hanya mengangguk.

“Seperti waktu Jan, semuanya pun akan berlalu. Kenangan kita, harapan kita, lagu-lagu kita, dan mungkin hidup kita” ucapku selanjutnya. Januar masih diam.

“Aku sudah lama diam mempertanyakan semua kesukaran ini dalam hatiku. Kurasa bisa Jan terus hidup dalam kebohongan. Kurasa aku sanggup Jan berpura-pura sepertimu dan menguntai sebuah hubungan sederhana denganmu. Ya, aku rasa aku bisa menjadi temanmu selamanya. Tapi Jan, maafkan aku, aku ternyata tak bisa” lanjutku lagi.

Kutarik napas dalam. Januar dengan raut wajah datar masih  bergeming. Bahkan ia masih tak bersuara lebih banyak dari sebelumnya. Dan aku merasa semakin yakin bahwa keputusan ini adalah keputusan terbaikku. Aku memang harus pergi dari Januar untuk sebuah masa depan lain yang lebih baik.

“Aku minta waktu” pintanya  kemudian. Aku menarik napas lagi untuk kesekian kalinya.

“Aku tak punya Jan, maafkan aku” tandasku sesak. Kubiarkan dadaku kembali terhimpit oleh kesesakan ini lagi. Sudah terlalu lama kubiarkan kesesakan ini mencekik diriku. Membiarkan Januar lega dengan kebohonganku dan hidup dengan kepura-puraan yang semakin menyakitkan. Tapi, hari ini aku memilih mengakhiri sesak ini. Walau sesaknya melebihi yang  biasa, setidaknya ini untuk terakhir kalinya.

“Jadi, kamu mau pergi?”tanya Januar selanjutnya. Rasanya aku akan meminta yang lain pada Januar seandainya aku bisa. Tapi sayang, aku tahu bahwa Januar memang menginginkan ini dari dulu.

“Maaf Jan, aku selalu berpikir buruk tentangmu. Entah mengapa aku merasa kamu memang mengingini aku pergi dari hidupmu. Benarkah apa yang aku katakan itu Jan?”aku kembali melontarkan pertanyaan padanya.

“Kamu tak harus menjawab. Justru dengan kamu menjawab aku akan semakin tahu bahwa kamu hanya seorang pembohong” lanjutku menghentikan dia memikirkan kebohongan selanjutnya yang hendak dia ucapkan.

“Semuanya terlalu cepat” ujar Januar kemudian. Wajahnya mulai membeku.

“Tidak. Bagiku semua sudah seharusnya terjadi saat ini. Banyak yang ingin aku kejar Jan. Kalau aku membiarkan diriku hidup dengan kepura-puraan ini terus, aku akan mati di sini dengan penyesalan. Waktuku tak banyak Jan. ia terus mengejarku dan menginginkan aku mencari langkah baru. Yah, mungkin buat kamu semuanya terlalu cepat, tapi kumohon hargailah waktuku” tandasku tegas. Januar kemudian mendekatiku.

“Kalau kamu memang ingin pergi, pergilah. Aku ingin kamu bahagia” ujarnya sambil membelai kepalaku.

“Kamu bohong Jan. Di dunia ini aku tak pernah menemui seorang pembohong sepertimu. Sungguh, walau aku tak menyesal pernah mencintaimu, aku tetap menyayangkan mengapa kamu tidak bisa menjadi seorang laki-laki sejati Jan” kuucapkan kata-kata itu sambil menepis tangannya. Air mata pun tak terbendung lagi.

Langit semakin mendung. Kubiarkan langkahku menepi di tepi jalan sunyi. Januar semakin jauh. Wajahnya semakin tak nampak dari pandanganku. Januar pergi. Aku yang meninggalkannya, tapi dia yang mencampakkan aku pertama kali. Dia pula yang mematahkan hatiku dalam kelukaan yang dalam. Januar adalah masa lalu pahit dan kelam. Kuharap seumur hidupku, aku tak akan lagi dipertemukan dengan seseorang seperti Januar.

JAKARTA DALAM WAJAH TAWA DAN GAIRAH

Udara sejuk mengantarku pada lelap yang panjang. Aku baru terbangun ketika kudengar suara adzan subuh memanggil. Kuraih ponselku, mencari satu entri nama yang sejak beberapa lama ini paling sering kuhubungi.

“Tuh kan, masih malas-malasan deh” ujarku menjawab suara malasnya yang bercampur kantuk.

“Kan masih pagi banget Neng!” bantahnya mencari alasan.

“Semalam kan aku tidur malam” lanjutnya mencari alas an lagi.

“Bangun dulu, nanti tidurnya dilanjutin ya, Sayang!” ucapku memaksa. Dia hanya tertawa mendengar ucapanku.

“Sejak kapan sih kamu jadi romantis gini?”tanyanya heran.

“Sejak hari ini. Aku mau bersikap romantis sama kamu. Kamu gak mau kan kalau aku bikin kekacauan dengan bersikap aneh lagi” bantahku. Dia hanya tertawa lagi.

Dialah awal baru yang cerah. Dia bukan Januar, dan sungguh merupakan sosok lelaki yang sangat bertolak belakang dengan seorang Januar. Lama kukenal dia, mungkin hitungan lima tahun. Namun, baru beberapa bulan ini aku menjadi begitu intens dengannya. Tepatnya sejak aku wisuda.

“Neng, ntar malam aku ke tempat kamu ya” pintanya kemudian.

“Udah sana, kamu salat dulu. Kalau udah salat nanti kita lanjutin ngobrolnya” tandasku menghentikan. Selanjutnya dia hanya menurut dengan ucapanku.

Kubiarkan waktu berjalan sekehendaknya. Menemukan sosok dia dalam hidupku merupakan sebuah anugerah. Meski dia bukan sosok romantis, aku bahagia ada di sisinya. Membagi sebuah dunia dan membangun kehidupan sempurna yang kami impikan.

Hanya berselang lima belas menit dari telpon sebelumnya. Dia pasti sudah selesai salat, pikirku.

“Iya, kamu ke sini aja. Tapi inget, jangan terlalu malam ya!”pintaku tanpa basa-basi.

“Ya gak malam lah Neng, aku kan mau ngajak kamu nonton”ujarnya merespons.

“Kok gak minta persetujuanku dulu sih?”tanyaku berpura-pura kesal.

“Kan yakin kalau kamu gak akan nolak” jawabnya penuh percaya diri. Aku cuma tertawa mendengar ucapannya.

“Tuh kan, masih aja ke PD-an” ledekku. Dia balas tertawa

“Neng, ini kan hari sabtu. Kita pergi siang aja ya!” ajaknya lagi. Aku baru ingat kalau hari ini adalah hari libur, pantas saja dia bermalas-malasan.

“heeh” jawabku singkat.

“Dah, Sayang, sampai ketemu nanti siang” ujarnya kemudian diikuti suara telepon dimatikan.

Ada yang kumengerti setelah semuanya terjadi. Dulu, aku mati-matian mencintai Januar, tapi dia tak bisa balas mencintaiku. Namun, untuk selanjutnya, aku menemukan seseorang yang kurasa begitu mencintaiku, meski awalnya aku sama sekali tak berpikir akan bersamanya.

Inilah hidup…, dan aku merasa bersyukur karena pernah dipertemukan dengan seorang Januar, sehingga aku dapat menyadari dan menikmati cinta yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Seandainya Januar tak pernah menghancurkan hati dan perasaanku, aku pasti tak akan pernah bisa menghargai cinta yang kuterima dari dia sekarang ini!

JAKARTA, MENDUNG KEDUA YANG MELUKA

“Maksud kamu apa, Kak?” tanyaku bingung dengan ketiba-tibaannya membuat sebuah keputusan yang tak kuduga. Ini tahun kedua kami bersama. Semua kurasa baik-baik saja. Tapi entah kenapa di senja yang indah ini ia datang dengan sebuah berita yang membuat nyawaku hampIr lepas dari raga karena saking mengejutkannya.

“Kakak minta maaf, Neng. Bunda tiba-tiba mengingini Kakak mengakhiri hubungan kita ini.”

“Tapi kenapa Kak?” tanyaku dengan suara yang sudah tak lagi bertenaga.

“Neng, Bunda ingin kakak menikah dengan seseorang yang dipilihkannya.” jawabnya tersendat-sendat. Aku tak tahu bagaimana rasanya kala kudengar itu. Langit terasa gelap. Hampir jatuh menimpaku. Entahlah, aku mati rasa. Habis kata-kata. Tak tahu harus membela diri atau harus menyerah saja.

“Neng…, maafin Kaka. Kaka tahu ini menyakitkan untuk kamu. Tapi ini keinginan Bunda. Kakak tak berdaya.”

Kalimatku habis. Waktu Kakak menggenggam tanganku, aku benar-benar tak berbuat apa-apa. Kuhapus tiap butir air mata yang jatuh menderas. Pelan-pelan kutarik napas dalam. Tak ada penghabisan kata yang ingin kulontarkan. Cukup sudah, ini keterlaluan. Dia tak menginginkanku, sebab itu dia tak mempertahankanku.

Semua tampak kelam. Tak ada hujan badai. Tapi aku kuyup dan menggigil kedinginan. Langit jingga itu berubah jadi hitam. Kurasa, waktu sudah terlalu larut. Aku lemas, sesak tak bisa bernapas. Kakak mencampakkanku. Dia meninggalkanku dan melepaskanku begitu saja. Aku terluka. Aku ingin mati saja rasanya.

“Tuhan, benarkah cinta dan setia itu benar-benar ada?”

 

JAKARTA DALAM DUA WARNA YANG SENADA

Hidup tanpa cinta bukanlah hal yang luar biasa. Meski kadang terasa sepi tak terkira. Namun kadang di sisi lainnya ada sebuah bahagia yang berbeda. Tanpa Kakak, duniaku baik-baik saja. Aku pun tetap harus bangkit berdiri di atas ketegaranku sebagai seorang wanita. Tiga bulan sudah. Tidak apa-apa. Semua masih bisa berjalan dengan seharusnya.

“Kriiiiing…”

“Ya…halo….”

“Ini Januar Li. Apa kabar?” Dug. Dadaku berdegup kencang saat kudengar suara itu lagi. Januar. Nama itu lagi. Nama yang hilang bertahun-tahun dari kepalaku dan malam ini tiada angin, tiada topan tiba-tiba muncul kembali.

“Halo, Li….” panggilnya mengejutkanku yang terkejut sampai tak bisa berkata-kata.

“Oh…Hay Jan. Apa kabar? Kabarku baik…” jawabku dibuat tenang, tapi tetap tak bisa menyembunyikan kegugupan dengan kalimat yang kusadari berantakan.

“Aku mengejutkan kamu ya?” terka Januar. Dia langsung menembak tepat sasaran.

“Yup…begitulah…” aku mulai lebih rileks setelah Januar menuntunku dalam situasi yang lebih santai.

“Maaf ya, Li atas ketiba-tibaan ini” lanjutnya dengan sangat terbuka.

“Oh. It’s ok” jawabku simple.

“Li, aku baru kembali ke Jakarta dua hari lalu.” Jelasnya. Aku hanya mengernyitkan dahi. Aku tidak mengerti maksud kalimatnya. Aku bahkan tidak tahu bahwa dia keluar Jakarta atau entah ke mana.

“Aku…pindah ke Lampung dua tahun lalu. Kerja di sana beberapa lama dan tahun ini, tepatnya bulan ini aku ditugaskan kembali di Jakarta” ungkapnya panjang lebar. Aku masih belum mengerti. Dia bekerja apa aku tak tahu. Sebab seingatku, waktu kami berpisah dulu, dia baru saja menyelesaikan kuliahnya. Aku jadi bingung harus menanggapi bagaimana.

“Aku tahu Li. Kamu terkejut kan dengan ceritaku ini? Cerita yang sebenarnya ga penting untuk kamu. Iya kan?” respons Januar sedikit mengejutkanku. Aku sedikit kaget dengan caranya bersikap. Dia jauh berbeda dengan Januar yang kukenal beberapa tahun lalu. Januar yang tanpa ekspresi. Januar yang membuatku gemas dengan ketidaktegasannya. Akh….aku benar-benar dibuat kaget dengan semua ketiba-tibaan dan perubahan dirinya ini.

“Li, aku ga mau basa-basi. Aku kembali ke Jakarta. Dan orang pertama yang ingin kutemui adalah kamu. Orang pertama yang kuingat di kota ini adalah kamu. Aku bahkan belum pulang ke rumah Li.” Lanjutnya panjang lebar, sementara aku masih kebingungan.

“Li…kamu dengerin aku kan?” tanyanya menunggu responsku yang sedari tadi tak bersuara.

“Hmmmm…..ini…mengejutkan…hehehehe”

“Iya aku tahu. Kamu pasti terkejut. Tapi…aku ga peduli. Aku harus lakuin ini.” Katanya kemudian.

“Lakuin apa?” tanyaku dibuat bingung lagi olehnya.

“Aku harus bicara dan ketemu sama kamu. Aku harus membicarakan masa depan kita.”

“Kita? Maksudnya?”

“Li…aku masih mencintai kamu. Aku masih Januar yang di hatinya cuma ada kamu. Sama seperti beberapa tahun lalu.”

Aku diam. Diam sediam-diamnya.

“Aku memberanikan diri Li. Ini juga ga mudah buatku. Aku…Aku coba ga peduli kalau kamu nolak aku. Kalau kamu bilang tak lagi mencintaiku karena ada orang lain di hati kamu…Aku ga peduli, Li.” Januar menarik napas panjang setelah melontarkan kalimat panjang itu.  Aku masih diam. Beberapa lama. Semua hening.

“Li, bisakah kamu menerima aku lagi?” tandas Januar memecah kesunyian kali ini.

“Aku tahu, aku pernah menyakiti kamu, Li. Kamu juga berhak membenci aku, tapi aku akan tetap mencintai kamu. Terus Li, sampai kamu memaafkan dan mau menerima aku kembali.” Setelah itu Januar diam lagi.

“Jan…aku…kaget” ucapku kemudian.

“Iya, aku tahu”

“Dan aku minta maaf….” Aku terhenti, tak melanjutkan kalimatku. Januar menunggu kelanjutan kalimatku. Tak kubayangkan bagaimana gugupnya dia menunggu kelanjutan kalimatku. Yang jelas kudengar suara napasnya di telingaku.

“Aku…baru patah hati” ucapku tak jelas.

“Jadi….?” Tanya Januar tak mengerti.

“Aku ga bisa menjawab apa pun.” lanjutku, lalu diam lagi.

“Li…aku akan menunggu.” Jawab Januar di luar dugaanku.

“Aku akan menunggu sampai kamu mau membuka hatimu, Li. Aku janji akan menunggu sampai kapan pun. Aku benar-benar mencintaimu, Li. Sungguh-sungguh.”

Kalimat Januar sama sekali tak membuat aku melayang. Aku tak bisa merasakan apa-apa. Aku tak tahu harus bilang apa. Aku mati rasa, mungkin. Atau aku terlalu terkejut dengan ketiba-tibaannya. Aku bahkan lupa wajah Januar seperti apa. Aku lupa. Dan aku sedang mencoba emngingatnya lagi.

“Aku menunggu, Li. Kita akan bicarakan ini lebih lanjut ketika kamu siap.” Januar memecah keterdiamanku kemudian.

“Sudah malam. Kututup dulu ya Li. Sudah waktunya kamu tidur. Aku ingat dulu, kamu selalu tidur lebih awal di hari libur, karena kamu ingin di hari libur tetap bisa bangun lebih pagi. Semoga itu belum berubah.” Ujarnya diikuti tawa kecil yang renyah.

“Selamat malam, Liliaku yang cantik. You know how much I miss u. Selamat malam. Assalamualaikum.”  Kalimat penutup Januar membuat ingatanku melayang pada masa beberapa tahun lalu. Aku masih mematung seperti orang kesetrum sampai kaku tak bisa bergerak.

Tiba-tiba di kepalaku muncul wajah Januar. Satu, dua, dan bertambah sehingga jumlahnya tak terhitung lagi. Aku ingat wajahnya. Ingat senyumnya. Ingat semua kalimat-kalimatnya.

I miss u too,  Jan.” Tiba-tiba kata itu yang terlontar dari gumamanku.

Aku tak tahu ini jam berapa. Yang kuingat ini seperti pagi hari ketika aku berdiri di teras lantai dua rumahku sambil memandang arah matahari terbit. Iya, ini jam enam pagi. Seperti itulah rasanya.